DESA KECIL PENUH KENANGAN JAUH DARI KEBLINGER KOTA NAMUN TETAP JAYA . . . .

Kamis, 15 Januari 2009

ABSTRAK
STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
“Paradigma Perkembangan Ilmu Pengetahuan”
Abdurrahman Kader

Perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian pesat dengan aliran yang beragam membuat penulis merasa perlu untuk melakukan suatu karya tentang bagaimana perkembangan ilmu itu dengan permasalahan yang diangkat yaitu persoalan hakekat suatu ilmu pengetahuan, perkembangan sutu teori yang khususnya adalah teori paradigma yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn dan bagaimana perkembangan serta sumbangsi bagi perkembangan keilmuan dewasa ini.
Permasalah yang telah diangkap sehingga penulis mempunyai batasan pemikiran bahwa suatu hakekat ilmu adalah bagaimana pengetahuan itu didapatkan yang kemudian dikembangkan melalui riset atau aktivitas ilmiah sehingga menghasilkan suatu teori atau karya. Setelah menghasilkan teori maka disinilah paradigma akan berlaku karena asumsi utama dari paradigma adalah bagaimana cara pandang seseorang terhadap fenomena yang muncul dalam suatu masayarakat atau objek tertentu.
Selanjutnya dapat diuraikan bahwa perkembangan suatu ilmu pengetahuan juga tergantung pada sikap seorang ilmuwan. Untuk menjadi seorang ilmuan tentunya harus konsekuaen dengan falsafah hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral dan mampu membawa masyarakat menuju progesivitas yang tinggi, maka ilmuan harus menjadi suri tauladan dalam segala tindak tanduknya di tengah-tengah masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN
a.Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang kian cepat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang mendesak manusia mengikuti pola dan iramanya. zaman yang serba canggih ini mebuat manusia khususnya para ilmuwan melupan hakekat suatu ilmu pengetahuan, lebih-lebih melupakan dan meremehkan filsafat dan sejarah perkembangan suatu ilmu pengetahuan itu.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang di awali dari Zaman Yunani dan Romawi Kuno sampai pada masa Perkembangan ilmu pengetahuan Alexandria telah ditutup oleh bangkitnya Kristianitas pada Jaman Kegelapan. Selama berabad-abad, perkembangan ilmu pengetahuan dilumpuhkan oleh kediktatoran spiritual dari Gereja. Hanya dengan membebaskan dirinya dari pengaruh agama, ilmu pengetahuan mampu berkembang. Namun, melalui puntiran sejarah yang aneh, pada akhir abad ke-20 berbagai upaya yang bertenaga telah dibuat untuk menarik mundur ilmu pengetahuan. Segala macam kuasi-religius dan ide-ide mistis bertebaran di udara. Gejala aneh ini berkaitan dengan dua hal.
Pertama, pembagian kerja telah dilakukan pada tingkat yang demikian ekstrim sehingga ia mulai melahirkan berbagai bahaya. Spesialisasi yang sempit, reduksionisme dan perceraian yang hampir sempurna antara sisi teori dengan eksperimen pada fisika telah membawa akibat-akibat yang paling negatif.
Kedua, tidak ada satu filsafat yang cukup kuat untuk membantu menunjukkan jalan yang tepat bagi ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan sudah berantakan. Ini tidak mengherankan karena apa yang kini disebut "filsafat ilmu" - atau mungkin lebih tepat disebut sekte filsafat positivisme logis yang menganugerahi dirinya sendiri dengan gelar itu - justru adalah yang paling tidak sanggup membantu ilmu pengetahuan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan ini.
Beberapa dasawarsa terakhir telah tertanam dalam-dalam sebuah prasangka bahwa ilmu "murni", khususnya fisika teoritik adalah hasil dari pemikiran abstrak dan deduksi matematik semata. Seperti yang dijelaskan Eric Lerner, Einstein turut pula bertanggung jawab untuk kecenderungan ini. Tidak seperti teori-teori sebelumnya, seperti hukum elektromagnetik Maxwell, atau hukum gravitasi Newton, yang memiliki dasar yang kokoh dalam percobaan-percobaan, dan segera dibenarkan oleh ribuan pengamatan terpisah, teori Einstein mulanya hanya dibenarkan berdasarkan dua hal saja - pembelokan cahaya oleh medan gravitasi matahari dan penyimpangan kecil dari orbit Merkurius. Fakta bahwa teori relativitas kemudian dibuktikan tepat telah mendorong orang lain, yang mungkin tidak setingkat dengan kejeniusan Einstein, untuk menganggap bahwa inilah cara untuk melangkah maju. Mengapa perlu repot-repot dengan percobaan yang makan waktu? Sungguh, mengapa perlu bergantung pada bukti fisik yang dapat diraba, kalau kita dapat langsung menuju kebenaran melalui metode deduksi murni?
Lahirnya sebuah teori merupakan hasil pencarian cerapan indra menjadi suatu pengetahuan yang kemudian dibuktikan dengan suatu aktivitas ilmiah dengan cara melakukan studi penelitian dengan menggunakan berbagai metode keilmuan. Pengembangan suatu teori inilah yang kemudian melahirkan suatu cara pandang terhadap suatu dinamika alam maupun perubahan dalam suatu masyarakat tertentu yang merupakan hasil cerapan indera.
Landasan teori inilah yang berkembang sehingga lahirlah suatu pandangan bari yang dikenal dengan teori paradigma yang dipelopori oleh Thomas Khun, Ia berasumsi bahwa suatu krisis ilmu bisa bila lahir paradigma yang baru sepenuhnya dan menarik makin banyak kepercayaan para ilmuwan sampai akhirnya paradigma orisinil sebagai suatu problem dapat dipecahkan. Perubahan terus menerus dan terputus-putus itu merupakan revolusi ilmiah, paradigma baru yang penuh dengan janji untuk membimbing aktivitas ilmiah.
Pertanyaan yang muncul apakah paradigma dapat menjawab semua aktivitas ilmiah, pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, sebab paradigma merupakan suatu cara pandang, sedangkan cara pandang tergantung pada subjek yang menggunakan inderanya.

Landasan pemikiran di atas sehingga penulis sepertinya tertarik pada suatu paradigma ilmu menurut Thomas Kuhn sebagai suatu perkembangan keilmuan dewasa ini, sehingga penulis mengangkat tema sebagai dasar penulisan makalah ini.

b. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka diajukan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1.Apa hakekat ilmu pengetahuan ?
2.Apa teori Paradigma dan bagaimana perkembangannya ?
3.Bagaimana Strategi pengembangan dan paradigma ilmu pengetahuan ?

c.Manfaat Penulisan
Diharapkan dalam penelitian bermanfaat bagi :
1.Kemajuan pemikiran filsafat
2.Kemajuan pengembangan Ilmu Pengetahuan

d.Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:
1.Untuk mengetahui hakekat dari ilmu pengetahuan
2.Untuk mendeskripsikan teori paradigma dan perkembangannya
3.Untuk menguraikan strategi pengembangan dan paradigma ilmu pengetahuan


BAB II
HAKEKAT ILMU PENGETAHUAN

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau berdasarkan fakta-fakta melalui penelitian secara empiric. Menurut A.F. Chalmers bahwa ilmu didasarkan pada apa yang dapat kita lihat, dengar, raba dan sebagainya. Pendapat atau kesukaan subjektif dan dugaan-dugaan spekulatif perorangan tidak mempunyai tempat di dalam ilmu2. Disisi lain menurut J.J. Davies bahwa ilmu adalah suatu struktur yang dibangun atas fakta-fakta3.
Ilmu ada karna adanya pembuktian, ilmu ada karna apa yang kita lihat kemudian di buktikan secara empiris maka melahirkan ilmu. Fakta empirik menurut A.F. Chalmers (1983 : 5) adalah fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan panca inderanya. Ruang lingkup kemampuan penca indra dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pencaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empirik.
Sejak awal sejarah ternyata manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas). Dalam kehidupan sehari-hari Ilmu pengetahuan, yang kadang disebut sains, merupakan komponen terbesar yang diberikan sebagai mata pelajaran dalam semua tingkatan pendidikan di samping humaniora dan agama.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan yaitu gabungan antara berpikir secara rasional dan empiris4 Hal senada diungkapkan oleh Adisusilo menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan atau science adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Karena itu, ilmu pengetahuan harus mempunyai sifat ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara metodis, sistematis, dan logis. Metodis maksudnya adalah bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara kerja yang terperinci, baik yang bersifat induktif maupun deduktif, sesuai dengan tahapan-tahapan metode ilmu, misalnya dimulai dengan observasi, perumusan masalah, mengumpulkan dan mengklasifikasi fakta, membuat generalisasi, merumuskan hipotesis, dan membuat verifikasi5.
Sementara itu, The Liang Gie (1984) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsepsi ilmu yang sistematik dan lengkap hendaknya mencakup segi-segi denotasi (cakupan), konotasi (ciri penentu), dan dimensi (keluasan). Ketiga segi tersebut perlu dibedakan secara tegas dan tidak dicampuradukkan dalam pembahasan tentang ilmu.
Menurut Suriasumantri ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ketahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi). Dalam hal ini, falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi atau keberadaan ilmu6.
Ontologi membahas tentang apa yang kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian, bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai obyek tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita berpaling kepada epistemologi, yakni teori pengetahuan7. Menurut Pranarka orang perlu mencari dan mempertanyakan dasar-dasar dari ilmu itu, terutama menunjukkan legitimasi epistemologinya8. Selanjutnya, jawaban untuk pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan pengetahuan, berkaitan dengan axiologi yakni teori tentang nilai. Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan.
Secara lebih rinci, Suriasumantri menyatakan bahwa tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan axiologi9.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.



BAB III

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


A.Teori Pengetahuan dan Kebenaran

Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir“. Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan ” barangkali ” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya10. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah di atas perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak,yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan)11.


Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dengan “Falsafatuna”-nya, Jawad Amuli dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya dan Ja’far Subhani dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya12. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka13 sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat14 mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Renaissance15 yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia. Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya16.
a.Sumber-Sumber Pengetahuan
1.Empiri (pengalaman): David Hume—outer senses dan inner sense.
Panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, “perasa” merupakan outer senses).
2. Rasio (Reason): akal budi, pikiran, penalaran: deduktif dan induktif sabagai dasar manusia mengambil kesimpulan dalam berpikir.
3. Otoritas: kewenangan, kompetensi.
Orang dipercaya omongannya (dipandang sebagai kebenaran) karena dianggap memiliki otoritas. Otoritas diperoleh lewat: pendidikan, keturunan.
4. Intuisi
semacam a flash of insight, seolah a priori (mendahului X a posteriori: didahului, sesudah) terhadap pengalaman. Tanpa melihat, sebelum mendengar seolah telah begitu jelas dan terang-benderang di dalam pikiran kita. Ilmuwan yang berpikir intens (mendalam dan terus-menerus) dapat memiliki intuisi.
5. Kepercayaan: belief.
Credo ut intelligam: aku percaya maka aku mengerti. Di dalam pengetahuan memang ada unsur kepercayaan.
6. “Wahyu”: Revelation.
Berupa semacam “wangsit”, didapatkan lewat mimpi. Seolah ada bisikan gaib yg memberikan pengetahuan yang benar17.
b.Kebenaran
Kebenaran adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi kesalahannya, banyak teori dan persepsi tentang kebenaran. Namun sering orang bertanya apakah kebenaran itu benar ? ukuran kebenaran sangatlah sulit diartikan karena masing-masing manusia mempunyai ukurannya tersendiri.
Menurut Riri Satria, ada 2 jenis kebenaran, yaitu (1) kebenaran hakiki (the real truth), serta (2) kebenaran yang dipersepsikan (perception of truth). Kebenaran hakiki sejatinya milik Yang Maha Kuasa Sang Pengatur Alam Semesta, dan sulit untuk dicapai oleh manusia seobyektif mungkin. Saya meyakini sepenuhnya bahwa kebenaran hakiki ini ada, somewhere up there18. Sementara itu kebenaran yang dipersepsikan inilah yang ada pada umat manusia. Kebenaran yang dipersepsikan ini berwujud suatu konsensus atau kesepakatan atau kesetujuan terhadap sebuah fenomena, di mana bisa saja sesuai dengan kebenaran hakiki, bisa juga tidak. Tetapi selagi disepakati oleh sekelompok manusia, maka itu diyakini sebagai kebenaran oleh kelompok tersebut, tentu saja kebenaran yang dipersepsikan. Kebenaran yang dipersepsikan ini bisa saja terkoreksi suatu saat, sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi kebenaran hakiki akan kekal abadi selamanya.
Lebih jelasnyaakan diuraikan tentang bagaimana kedudukan dan teori kebenaran itu, sebagaimana diuraikan di bawah ini :
1.Kedudukan Kebenaran
- Plato mementingkan objek daripada subjek: alètheia tersingkapnya selubung yang menutupi ada.
- Aristoteles mementingkan subjek pengenal daripada objek: persesuaian antara pernyataan subjek dengan objek.
- Kebenaran tersingkap dalam relasi subjek dengan objek yang selalu berkembang19.

2.Kriteria Objek Kebenaran
-Konsep tidak dapat dinilai benar-salah, betul-keliru, namun dapat dinilai jelas-kabur, memadai-tidak memadai.
-Persepsi tidak dapat dinilai benar-salah, betul-keliru, yang bisa dinilai adalah isi pernyataan tentang apa yang dipersepsikan.
-Yang bisa betul-keliru adalah orang yang mempersepsikannya.
-Persepsi bisa jeli atau serampangan, tajam atau tumpul, menyeluruh atau parsial.
-Pengetahuan dapat dinilai benar-salah krn ia merupakan suatu sistem pernyataan20.
3.Istilah-Istilah terkait Kebenaran
-“Benar-salah” atau true-false dipakai utk menilai isi atau kualitas suatu proposisi.
-“Betul-keliru” atau truth-error dipakai untuk menilai person atas proposisinya. Misal: orang bisa keliru atas keyakinan geosentrisme. Pengetahuan tidak tepat untuk dinilai dengan betul-keliru.
-“Tepat-meleset” atau correct-incorrect dipakai untuk menilai jawaban atas suatu pertanyaan atau persoalan, penilaian, pertimbangan, atau putusan.
-“Sahih-tak sahih” atau valid-invalid untuk menilai lurus-tidaknya prosedur, metode pengetahuan21.

Macam-macam Kebenaran
1.Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.
2.Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif.
3.Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akal-budi, karena yang-ada mengungkapkan diri kepada akal-budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal-budi yg menyatakannya22.

B. Teori Paradigma dan Perkembanganya
Istilah yang sangat populer kini untuk menyebut “kerangka teori" adalah paradigma. Istilah ini menjadi populer setelah Thomas Kuhn menggunakannya dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1945). Kuhn mengata bahwa revolusi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah pergantian paradigma atau pergantian pola pikir, cara memandang, Cara mendefinisikan suatu gejala atau suatu persoalan. Revolusi dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah penggantian paradigma lama oleh suatu paradigma baru yang dipandang dapat menjelaskan lebih banyak gejala atau dapat memberikan jawaban yang lebih tepat atau lebih menguntungkan atas pertanyaan yang dikemukakan. (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2007 : 6).
Sedangkan pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan menentukan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset23.
Kemudian Thomas Kuhn (Achmad Fedyani S, 2006 : 53-54) menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Paradigma merupakan suatu keputusan yudikatif dalam hukum yang tidak tertulis.
Secara singkat pengertian pradigma adalah Keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Thomas Khun mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Pendapat ini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian-kajian kritis terhadapnya. Kritis tentang pendapat tersebut yaitu a). Menguji kebenaran dan manfaat pendapat Khun pada bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu saja; b). menilai secara kritis pendapat Khun tentang paradigma, karena Khun menggunakan istilah paradigma yang berbeda-beda sehingga dikatakan bahwa Ia tidak konsisten dalam pendapatnya. (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2008 : 3-4).
Penjelasan tersebut di atas sehingga dalam sebuah paradigma mengandung unsur-unsur pokok yang medasarinya, sebagaimana dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra24 yaitu Aumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, model, masalah-masalah yang ingin diselesaikan/dijawab, konsep-konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis dan etnografi atau representasi.
Lebih rinci lagi kan digambarkan dalam bentuk skema dibawah ini25 :



BAB IV
STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PARADIGMA
ILMU PENGETAHUAN


A. Strategi pengembangan Ilmu

Berbicara tentang strategi pengembangan ilmu ini Koento Wibisono (1982:13) mengelompokkan menjadi 3 macam pendapat: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan tetutup, dalam arti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan. “Science for sake of science only” merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberi justifikasi. Dengan ini ilmu cendrung memasuki kawasan untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi. Ketiga, pendapat ynag menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansidan aktualitasnya. “Science for sake of human progress” adalah pendiriannya.
Ketiga pendapat ini rupanya pendapat yang ketiga yang mampu membangkitkan gairah keilmuan, karena strategi yang digunakan punya relevansi untuk memperkaya muatan-muatan keilmuana sesuai dengan progresivitas dan aktualitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dari sini tak dapat diletakkan urgensi untuk mengembangkan ilmu yang tidak sekedar teori-teori belaka, tapi juga realisasi teori dalam praktek dan hasil-hasil yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Artinya di sini bahwa ada nilai-nilai yang menjadi muatan suatu ilmu bisa berkembang dan bermanfaat.
Masa kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa yang ditandai dengan masa pencerahan yang memberi porsi yang sangat besar bagi kebebasan individu. Hal ini terbukti dari kuasa akal (reason) yang begitu besar pada abad 18 sebagai Abad Pencerahan. Cassirer menyatakan: “ketika abad 18 ingin disebut dalam sebuah kata, ia disebut sebagai “reason“. “Reason“ menjadi perekat dan titik sentral pada abad ini, mengekspresikan perjalanan dan perjuangan, serta segala perolehan”26. Di samping itu, bukti lain yang menguatkan ialah pendapat Horkheimer dan Adorno bahwa untuk bidang ilmu, Pencerahan mengacu pada sebuah masa eksperimentasi dan penemuan melalui pencarian rasional secara bebas27.
Pada Abad Pencerahan, banyak filsuf berupaya menerapkan metode ilmu alam pada wilayah moral. Paling jelas nampak pada ambisi David Hume akan sebuah science of man. Kodrat manusia bersifat konstan dan seragam dalam prinsip-prinsip operasional, yaitu motivasi yang mendorong atau hasrat; sumber pengetahuan berupa pengalaman; dan mode operasi berupa asosiasi ide. Hal tersebut dapat dipahami secara ilmiah bahwa institusi sosial dapat didesain untuk memeroleh hasil yang memuaskan28.
Setiap aksi pastilah menimbulkan reaksi. Tidak sedikit para pemikir yang menolak proyek Pencerahan. Horkheimer dan Adorno menengarai bahwa pencarian sistematik dari akal budi dan kebebasan yang tercerahkan mempunyai pengaruh ironis jangka panjang dalam melahirkan bentuk rasionalitas dan penindasan baru. Selain itu, Pencerahan juga mengancam ide tentang hak asasi manusia seperti pada “universal-universal lama”, misalnya mitos. Setiap perlawanan yang Pencerahan temukan semata-mata berperan untuk meningkatkan kekuatan serta mengakui eksistensi mitos yang erat dengan dirinya, misalnya Pencerahan selalu membawa kebebasan berpikir bagi setiap orang atau ilmu dapat meningkatkan kebebasan individu.
Penolakan terhadap Pencerahan yang terkait dengan relasi antara ilmu dengan kebebasan individu nampak jelas pada apa yang disebut Ian Shapiro sebagai Politik Anti Pencerahan. Shapiro mengatakan, “para pengecam Pencerahan tidak percaya bahwa kemajuan yang berdasarkan ilmu pengetahuan akan menghasilkan perbaikan hidup manusia dan kebebasan individu”. Pada bagian selanjutnya, Shapiro mengkritisi bahwa “…kebanyakan versi serangan anti-Pencerahan terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih masuk akal sebagai kritik terhadap Pencerahan awal dibandingkan terhadap Pencerahan akhir.
Sebagaimana lazimnya, ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Meskipun yang disebut pengetahuan ilmiah sesuai dengan keharusan adanya keraguan didalamnya kemudian dipertanyakan kembali. Demikian pula sikap masyarakat atas pengetahuan itu, untuk menerima atau menolaknya. Sekiranya hasil ilmu itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat.
Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena ia adalah warga mayarakat yangkepentingannya terlibat sefcara langsung di masyarakat, namun lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuan secara tidak pernah mandeg pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfatkan olah masyarakat29.
Pada masyarakat yang agak statis, nilai tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi. Disini tugas dan tanggung jawab sosial keilmuan harus mampu mengisi dan mewarnai kondisi masyarakat tersebut tanpa harus merubah esensi budayanya. Artinya semata-mata demi untuk kemajuan masyarakat tersebut, sehingga fungsi ilmu itu dapat diterima dan dilaksankan oleh semua anggota masyarakat sedemikian rupa sehingga tercerahkan dan akhirnya tersadarkan. Hal ini akan membentuk idelisme progresif pada pola pikir masyarakat.
Untuk menjembatani hal ini, perlunya sikap sosial seorang ilmuan, yakni konsistensi dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan mampu menyampaikan dengan bahasa yang dimengerti masyarakat dan mampu memberikan perspektif secara benar suatu masalah30.
Demikian juga seorang ilmuan tentunya harus konsekuaen dengan falsafah hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral dan mampu membawa masyarakat menuju progesivitas yang tinggi, maka ilmuan harus menjadi suri tauladan dalam segala tindak tanduknya di tengah-tengah masyarakat.

B.Pengembangan Paradigma Ilmu Thomas Khun
Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fondamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik. Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta Phsikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya, yang dalam perkembangan ilmu tersebut adalah secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik.
Kuhn memberikan image atau konsep sains alternatif dalam outline yang ia gambarkan dalam beberapa stage, yaitu :
1. Pra paradigma-Pra ilmu
Pada stage ini terdapat persetujuan yang kecil bahkan tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena), maka aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir. Sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan diantara mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu, misalnya tentang sifat cahaya. Teori Epicurus, teori Aristoteles, atau teori Plato, satu kelompok menganggap cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda-benda yang berwujud; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda itu dan mata; yang lain lagi menerangkan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata; di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri.

Walaupun aktifitas ilmiah masing-masing aliran tersebut dilakukan secara terpisah, tidak terorganisir sesuai dengan pandangan yang dianut halini tetap memberikan sumbangan yang penting kepada jumlah konsep, gejala, teknik yang dari padanya suatu paradigma tunggal akan diterima oleh semua aliran-aliran ilmuan tersebut, dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat menerima (mengatasi) ketergantungan observasi pada teori.
2. Paradigma normal science
Para stage ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Dan hal inilah merupakan ciri yang membedakan antara normal science dan pra science. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut memungkiri adanya definisi yang ketat, meskipun demkian, didalam paradigma tersebut tercakup :
a.komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis.
b.cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berbagai tipe situasi.
c.instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri.
d.prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma.
keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science31.

Dalam stage ini terdapat tiga fokus yang normal bagi penelitian science faktual, yaitu
a)Menentukan fakta yang penting.
b)Menyesuaikan fakta dengan teori.
c)Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja32.
Barangkali ciri yang paling menonjol dari masalah riset yang normal dalam stage ini adalah betapa sedikitnya masalah-masalah itu ditujukan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang besar, yang konseptual atau yang hebat tetapi; normal science sasarannya adalah memecahkan teka-teki dan masalah-masalah science. Teka-teki tersebut harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagai kelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma.
3. Krisis Revolusi
Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, dan anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang sebagai hal serius yang dapat menggoyahkan paradigma jika anomali tersebut :
a)Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
b)Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak33.

Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada stage ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Mereka membela penemuan baru dengan argumen-argumen filosofis dari posisi dubuis dipandang dari sudut paradigma. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja. Sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Setiap krisis selalu diawali dengan penngkaburan paradigma serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang lebih jauh atau telah diakui dengan tegas.
Setiap paradigma yang bersaing akan memandang dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigma tersebut akan melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia. Paradigma Aristotelian melihat alam semesta ini terbagi menjadi dua dunia dunia yang berlainan, dunia super-lunar (yang abadi dan tidak berubah-ubah) dan dunia sub-lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma yang muncul berikutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-bahan material yang sama. Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan.
Tidak adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa :
a) Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan seorang ilmuan mengenai faedah suatu teori ilmiah.
b) Penyusun paradigma-paradigma yang bersaing menganut berbagai perangkat standar, prinsip metafisik dan lain sebagainya yang berlainan34.
Keputusan seorang ilmuan individual akan tergantung pada prioritas yang ia berikan pada beberapa faktor, faktor tersebut antara lain :
- Kesederhanaan
- Kebutuhan sosial yang mendesak
- Kemampuan memecahkan problem khusus
- Kerapihan dan kecocokan dengan permasalahan yang dihadapi35.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.
Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan.
Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya walaupun berhasil mengatasi permasalahan itu revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa.
Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut36.


Paradigma pengembangan keilmuan yang dikemukan Thomas Khun tersebut banyak mengandung tantangan namun pada dasarnya Newton-Smith (1981)37 paling tidak mencakup pertama, generalisasi simbol milik bersama (shared symbolic generalizations), kedua, model-model (models) ketiga, nilai-nilai (values), keempat, prinsip-prinsip metafisis (metaphisical principles), kelima, masalah-masalah kongkrit.
Demikian sehingga dalam mengambangkan suatu ilmu pengetahuan merupakan sebuah pergantian paradigma yang mendasarinya. Namun patut di ingat bahwa dalam filsafat dijelaskan bahwa dalam mencapai suatu tingkat kebenaran adalah dengan menempuh cara-cara atau prosedur yang telah digariskan, serta suatu pengetahuan atau ilmu yang didapat merupakan peranan dari sumber-sumber pengetahuan yaitu Empiri, Rasio, Otoritas, Intuisi, Kepercayaan, dan Wahyu.




BAB V
KESIMPULAN


Sejak awal sejarah ternyata manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Demikian sehingga adanya tiga macam pendapat tentang perkembangan ilmu yaitu : pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan tetutup, dalam arti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan. “Science for sake of science only” merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberi justifikasi. Dengan ini ilmu cendrung memasuki kawasan untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi. Ketiga, pendapat ynag menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansidan aktualitasnya. “Science for sake of human progress” adalah pendiriannya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka perkembangan cara pandang terhadap sesuatu atau yang disebut dengan paradigma. Paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Masalah perkembangan ilmu dan persoalan paradigma maka, Thomas Khun mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Pendapat ini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian-kajian kritis terhadapnya. Kritis tentang pendapat tersebut yaitu a). Menguji kebenaran dan manfaat pendapat Khun pada bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu saja; b). menilai secara kritis pendapat Khun tentang paradigma, karena Khun menggunakan istilah paradigma yang berbeda-beda sehingga dikatakan bahwa Ia tidak konsisten dalam pendapatnya


DAFTAR PUSTAKA
Christopher J. Berry, 2000. Human Nature, Science of, In The 18th Century, Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy; London: Routledge.
Ernst Cassirer, 1951. The Philosophy of Enlightenment (translated by Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove, New Jersey: Princeton University Press,
Gie, The Liang. 1984. Konsepsi tentang Ilmu. Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi. Yogyakarta.
Koento Wibisono. 1982. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme;
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, 2002. Dialektika Pencerahan (terjemahan Ahmad Sahidah, Yogyakarta: Ircisod,
Pranarka, AMW. 1987. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar. Yayasan Proklamasi. Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S. 1984a. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Yayasan obor Indonesia dan Leknas – LIPI. Jakarta.
1984b. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. PT Gramedia. Jakarta.
1984c. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Sinar Harapan. Jakarta.
1990. Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6,.


Sumber Lain :
Cuk Ananta Wijaya, 2008 Slide Power Poin Epistemologi, matrikulasi S2 Filsafat Tahun 2008.
Riri Satria dalam http://www.ririsatria.net/2008/09/02/kebenaran/ Kebenaran (Download tanggal 30 Desember 2008)
http://suaraqolbu.wordpress.com/2008/01/05/teori-pengetahuan/ Teori Pengetahuan (Download tanggal 31 Desember 2008)
http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/). Paradigma Shift Thomas Kuhn (Download tanggal 30 Desember 2008)




1 Mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat UGM
2 Apa itu yang dinamakan Ilmu, 1983 hal. 1
3 Ibid
4Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik, 1984b
5 Ibid
6 Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu 1984a.
7 Ibid
8. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar, 1987
9 Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, 1984c.
10 (Dikutip dari http://suaraqolbu.wordpress.com/2008/01/05/teori-pengetahuan/ dowload tanggal 31 Desember 2008.
11 Ibid
12 (Dikutip dari http://suaraqolbu.wordpress.com/2008/01/05/teori-pengetahuan/).download 31 Desember 2008)
13 Kata mereka adalah sebutan bagi bangsa Barat
14 Sebutan bagi bangsa Eropa
15 Lahir kembali dalam bentuk yang baru bagi bangsa Eropa
16 Ibid
17 (Dikutip dari : Slide Power Poin Cuk Ananta Wijaya, matrikulasi S2 Filsafat Tahun 2008)
18 (dikutip dari http://www.ririsatria.net/2008/09/02/kebenaran/ )download 30 Desember 2008
19 (Dikutip dari : Slide Power Poin Cuk Ananta Wijaya, matrikulasi S2 Filsafat Tahun 2008)
20 Ibid
21 ibid
22 ibid
23 (dikutip dari :http://loekisno. wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/) download tanggal 30 Desember 2008
24 Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi budaya yang disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2008
25 Ibid 14
26 Ernst Cassirer, The Philosophy of Enlightenment (translated by Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove, 1951), hal. 5
27 Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan (terjemahan Ahmad Sahidah, 2002), hal. 5.
28 Christopher J. Berry, “Human Nature, Science of, In The 18th Century”, Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy,2000), halaman 364.
29 Jujun S. Sumiasumantri, Ilmu dalam Prespektif, 1990 : 237
30 Ibid, hal. 239
31 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
32 Ibid
33 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
34 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
35 Ibid
36 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
37 Heddy Shri Ahimsa Putra, 2008 : 4‐5 Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi budaya yang disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KERAGUAN KRITIS: DESCARTES
Abdurrahman Kader*

2.1 PARADOKS KELIRU
Tidak semua pengetahuan kita mempunyai dasar yang sama. Maka, upaya kritis di dalam epistemologi untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan harian kita dapat diperlakukan sebagai suatu usaha untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun, kesulitannya ialah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri khan dari pengetahuan yang kokoh yang mombedakannya dari "pengetahuan" yang palsu?
Salah satu usaha paling radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini telah dibuat oleh Rene Descartes. Descartes menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat seberapa jauh hal itu bisa diragukan. Bila kita secara sisetematis mencoba meragukan sebanyak mungkin pengetahuan kita, akhirnya kita akan mencapai titik yang tidak bisa diragukan, sehingga pengetahuan kita dapat dibangun di atas dasar kepastian absolut.
Prosedur yang disarankan oleh Descartes disebut "keraguan metodis universal". Keraguan ini bersifat universal karena direntang tanpa batas, atau sampai keraguan ini membatasi diri. Artinya, usaha meragukan tersebut akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha meragukan ini disebut metodik, karena keraguan yang diterapkan di sini merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis untuk mencapai kebenaran.
Bagi Descartes persoalan dasar bagi filsafat pengetahuan bukannya bagaimana kita dapat tahu, tetapi mengapa kita dapat membuat kekeliruan. Kekeliruan merupakan momok yang menakutkan bagi pikiran. Descartes tidak mempermasalahkan bahwa budi dapat mencapai kebenaran. Dia begitu yakin mengenai hal itu, sehingga kekeliruan baginya merupakan suatu kekecualian. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada kegagalan untuk melihat sesuatu, tetapi kekeliruan terjadi di dalam mengira tahu sesuatu yang tidak diketahuinya, atau mengira tidak tahu sesuatu yang diketahuinya.

2.2 KEPASTIAN PERTAMA: "COGITO ERGO SUM"
Descartes mengakui bahwa tampaknya tidak masuk akal untuk meragukan banyak hal, "misalnya, de facto saya ada di sini, duduk dekat api, mengenakan baju panjang, memegang kertas ini di tangan dan beberapa hal yang serupa". Tetapi ia melanjutkan:
"Pada waktu yang sama saya harus ingat bahwa saya adalah seorang manusia, dan bahwa dengan itu saya mempunyai kebiasaan tidur, dan di dalam mimpi tampak bagi saya hal-hal yang sama atau kadang-kadang bahkan hal-hal yang lebih meyakinkan, dari pada mereka yang kurang waras di dalam saat-saat mereka terjaga. Berapa kali telah terjadi pada diri saya bahwa di malam saya bermimpi saya menemukan diri di tempat khusus ini, bahwa saya berpakaian seperti ini dan duduk dekat api, sedangkan di dalam kenyataannya saya tidur di bed! Pada saat ini memang tampaknya saya terjaga sewaktu memandangi kertas ini; bahwa kepala yang saya gerakkan ini tidak tertidur, bahwa dengan sengaja saya merentangkan tangan dan memperhatikannya; apa yang terjadi di dalam tidur kelihatan tidak sejelas dan serinci ini. Tetapi di dalam memikirkan kembali hal ini mengingatkan diri saya bahwa pada banyak kesempatan saya telah tertipu di dalam tidur oleh ilusi-ilusi yang serupa, dan di dalam merenung dengan teliti ini saya melihat dengan begitu jelas bahwa tidak ada petunjuk-petunjuk pasti yang memungkinkan kita membedakan dengan jelas antara keadaan terjaga dan keadaan tidur sehingga saya terseret di dalam kekaguman."
Ini adalah 'keraguan mimpi'-nya Descartes yang sangat terkenal itu. Intinya mudah ditangkap. Ketika saya bermimpi saya sepertinya menemukan diri di antara objek-objek yang nyata, lepas dari saya, dan di luar kontrol saya. Namun kenyataannya mereka tidaklah nyata dan tidak lepas dari saya. Bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu bermimpi? Bagaimana saya tahu bahwa dunia yang saya lihat berada di luar saya, de facto bukan merupakan bagian dari imajinasi saya?
Sebagaimana badan saya yang tampaknya begitu jelas, demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi juga begitu jelas. Padahal kenyataannya, badan saya di dalam mimpi hanyalah khayalan saya. Jangan jangan semua hal yang sampai saat ini saya yakini begitu jelas berada di luar imaginasi saya, kenyataannya hanyalah hasil ulah pikiran saya sendiri, seperti yang terjadi dalam mimpi ! Kalau halnya demikian suatu nada sendu terdengar sayup-sayup di sini. Sebab bersamaan dengan itu, yang runtuh di dalam hancurnya duniaku ke dalam mimpi bukan hanya menara-menara yang tertutup awan dan istana-istana megah, tetapi juga sesamaku: sahabat, orang-orang tercinta, orang-orang yang menyebabkan hidupku terasa begitu bahagia. Kalau kesadaran baruku ini benar, terbukti bahwa semuanya yang semula saya kira berbeda dari saya tidak lain hanyalah bayang-bayang yang saya temui di dalam mimpi, yang tidak berbeda dari saya dan proyeksi diriku sendiri.
Namun budi masih menuntut haknya. Budi tidak menyerah begitu saja. Meskipun seandainya saya bermimpi, masih terdapat kebenaran-kebenaran yang tidak hancur di dalam mala petaka itu, yaitu kebenaran-kebenaran yang masih bisa saya tegaskan tanpa syarat. "Dua kali dua adalah empat", adalah kebenaran yang terjadi baik di dalam keadaan terjaga saya maupun di dalam mimpi saya; segi empat mempunyai empat sisi baik di dalam dunia mimpi maupun di dalam dunia sadar. Apakah ada cara di mana keraguan metodis dapat menghancurkan pertahanan dari kebenaran-kebenaran yang kokoh itu?
"Sebagaimana saya sering membayangkan bahwa banyak orang menipu diri sendiri di dalam hal-hal yang mereka pikir mereka ketahui benar-benar, bagaimana saya tahu bahwa saya tidak menipu diri setiap saat saya menambahkan dua dan tiga, atau menghitung sisi dari sebuah segi empat, atau mempertimbangkan Benda-Benda yang masih lebih sederhana, jika sesuatu yang lebih sederhana masih bisa dipikirkan?"
Siapa bisa membuktikan bahwa tidak ada suatu kekuatan lebih tinggi, yaitu si genius yang jahat, yang selalu mempermainkan saya demi kepentingannya sendiri dan yang menyebabkan saya dipenuhi dengan semua bentuk keyakinan kosong? Mungkin saya satu-satunya pribadi di dalam kenyataan, sedangkan seluruh pengalaman saya hanyalah merupakan khayalan, suatu lapisan ilusi yang ditanamkan oleh suatu kekuatan yang dengan penuh kejahatan senang menipuku terus-terusan. Padahal tidak ada objek sama sekali di luar diri saya:
"Maka saya akan mengira ... suatu makhluk genius jahat yang begitu berkuasa dan jahat, telah menggunakan seluruh tenaganya untuk menipu saya ... Maka, saya menjadi yakin bahwa semua Benda yang saya lihat adalah salah; saya mulai yakin bahwa tak ada suatu pun yang pernah ada sama sekali sebagaimana ingatan saya yang salah telah menampilkannya kepada saya. Saya berpikir hahwa saya tidak mempunyai indera: saya bayangkan bahwa badan, bentuk, keluasan, gerakan dan tempat merupakan khayalan pikiran saya. Lalu, apa yang dapat dianggap sebagai benar? Mungkin tidak ada satu pun, kecuali bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti . . .
Lalu apa?Apakah ini sama dengan kelumpuhan total? Apakah masih ada sesuatu yang dapat meloloskan diri dari kehancuran total Meskipun kedengarannya aneh, namun masih ada:
"Bagaimana saya tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berbeda dari hal-hal yang telah saya pikirkan, yang mengenainya tak ada keraguan sedikit pun? ... Saya sendiri, bukankah sekurang-kurangnya merupakan sesuatu? Tetapi telah saya sangkal bahwa saya mempunyai indera dan badan. Tetapi saya ragu, apa yang menjadi akibatnya? Apakah saya begitu tergantung kepada badan dan indera sehingga saya tidak dapat ada tanpa hal-hal itu? Tetapi saya telah yakin bahwa tak ada sesuatu pun di seluruh dunia, tak ada surga, tak ada bumi, tak ada budi, dan tak ada badan: apakah saya juga yakin bahwa saya tidak ada? Sama sekali tidak; saya tentu saja ada sebab saya meyakinkan diri saya sendiri mengenai sesuatu ... Padahal ada seorang penipu atau yang lain, yang sangat kuasa dan sangat licik, yang selalu menggunakan kepintarannya untuk menipuku. Maka tanpa sangsi saya tetap ada bahkan seandainya dia meni'pu saya, dan biarkan dia menipuku semau-maunya, ia tidak dapat menyebabkanku menjadi tiada sejauh saya berpikir bahwa saya merupakan sesuatu. Maka setelah mere-fleksikan dan memeriksa segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan hati-hati, kita harus sampai kepada kesimpulan yang pasti bahwa pernyataan ini: Saya ada, saya bereksistensi, secara niscaya benar setiap kali saya menyatakannya, atau bila saya memikirkannya secara mental."
Maka hal ini merupakan karang di atas mana keraguan Descartes akhirnya diatasi: "Cogito, ergo sum", saya berpikir, maka saya ada. Tidak peduli betapa pun asam keraguan menggerogoti, keraguan ini tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya sendiri: yaitu eksistensi dari orang yang meragukan.
Beberapa catatan perlu diberikan bagi maksud Descartes. Pertama-tama, perlu dicatat bahwa isi dari cogito, yaitu apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah: cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir; yaitu eksistensi dari budi, sebuah substansi sadar. Namun hal ini tidak menjamin eksistensi dari badan. Secara singkat perlu dikatakan bahwa ketika Descartes berbicara mengenai "berpikir", ia tidak memaksudkan secara eksklusif pada penalaran saja; melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, yang dianggap sebagai kegiatan sadar, termasuk di dalam istilah "berpikir" ini. Meskipun mungkin status dari objek-objek mereka bisa diragukan, kegiatan-kegiatan sadar ini tidak diragukan.

2.3 SUBJEKTIVISME
Apa yang termaktub di dalam konsepsi Descartes mengenai kehidupan mental, sebagaimana diperkembangkannya di dalam pemikirannya yang matang, adalah bahwa data dari kesadaran adalah melulu keadaan subjektif. Ini termuat di dalam kemampuannya untuk mengkonsepsikan semua data pengalaman tanpa adanya referensi objektif dalam dirinya sendiri. Bahkan seandainya tidak ada apa pun yang ada kecuali diri saya sendiri, saya masih bisa mempunyai pengalaman yang persis sama seperti yang saya miliki sekarang. Maka kenyataan bahwa saya sekarang mempunyai pengalaman-pengalaman ini tidak membuktikan bahwa pengalaman-pengalaman itu benar-benar ada sebagai sesuatu yang berbeda dari kesadaran saya sendiri. Akhirnya, karna kesadaran sebagaimana dipahami oleh Descartes tidak mempunyai referensi objektif langsung kepada sesuatu pun yang berbeda dari diri saya sendiri, maka bila referensi seperti itu harus ditegaskan, pastilah merupakan hasil dari suatu penalaran tertentu.
Yang kita temukan di sini adalah persoalan subjektivisme. Persoalan ini sangat penting, sebab hal ini membawa kita kepada pertanyaan: jika semua dari kesadaran saya pada awalnya mempunyai nilai eksklusif dari suatu keadaan subjektif dari jiwa individual saya sendiri, bagaimana saya pernah take tentang kodrat sesuatu yang lain dari diri saya? Atau bahkan bagaimana saya bisa sampai pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang berbeda dari diri saya sendiri? Persoalan ini tidak dapat dianggap enteng, sebab dalam salah satu bentuknya sendiri, hal ini merupakan persoalan yang digulati oleh filsafat modern sejak Descartes. Tetapi masalahnya bukan saja khusus bagi Descartes, sebab caranya memandang kesadaran adalah suatu Cara yang merangsang setiap bndi manusia pada suatu tingkat tertentu refleksinya. Ini merupakan pandangan kaum 'idealis'.
Maka di sini perlu diperkenalkan perbedaan antara kaum realis epistemologis dan kaum idealis epistemologis. Di sini sengaja akan dirumuskan secara luas:
(a).Realisme epistemologis berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya dengan apa yang lain dari diri saya.
(b).Idealisme epistemologis berpendapat bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif murni.
Persoalan bagi idealis epistemologis atau subjektivis adalah bagaimana, berdasarkan konsepsinya tentang kesadaran, dia pernah menyadari sesuatu yang lain dari dirinya sendiri? Rupanya seorang idealis sungguh-sungguh akan menemukan kesulitan antuk menghindari kesimpulan solipsistik. Apa yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa mereka yang mulai dengan mengambil titik tolak subjektivis, akhirnya percaya bahwa mereka telah menemukan suatu bentuk kesadaran yang merupakan kekecualian dari status subjektif murni dan yang juga mempunyai referensi objektif. Bila mereka tidak melakukan hal itu, mereka akan terkurung di dalam keadaan jiwa individual mereka sendiri untuk selamanya.

2.4 JALAN KELUAR YANG DITEMPUH DESCARTES
Descartes berpendapat bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaran pertama (cogito) ia akan mampu untuk menemukan di dalamnya jaminan bagi kebenaran, yang dapat digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Mengapa dia tidak mungkin menyangkal eksistensinya sendiri? Sebab, katanya, ia menangkapnya dengan begitu jelas dan disting, sehingga keraguan menjadi tak berdaya.
Perlu ditekankan bahwa Descartes di sini hanya memusatkan perhatiannya kepada apa yang disebutnya "yang tunggal atau simple", yang sama dengan jelas dari dirinya sendiri, eviden, masuk akal. Apa yang selalu ditekankannya adalah sifat intuitif dari pengetahuan: apa yang aku lihat, aku lihat. Yang jelas dan disting adalah sesuatu yang bercahaya berkat sinarnya sendiri. Pendiriannya adalah ini: kenyataan yang begitu positif dan langsung selalu termuat di dalam ide yang jelas dan disting, sehingga isinya adalah real; perbedaan antara yang subjektif dan objektif ditekan, dan budi mencapai apa yang mempunyai nilai pengetahuan tak bersyarat.
Tinggal pertanyaan mengenai dunia luar. Bagaimana saya mengatasi keraguan mengenai eksistensi riil dari benda-benda material di luar saya dan lepas dari saya? Untuk melakukan hal ini Descartes menggunakan dua jalan. kodrat dari pengada sempurna dan kodrat dari pengalaman inderawi saya.
Selanjutnya, seandainya terjadi kekeliruan di dalam keyakinan saya, dan seandainya Allahlah yang menjadi penyebab ide khayalan yang terjadi di dalam diri saya, maka Ia akan menjadi pembuat ilusi universal dan tak terelakkan pada diri saya. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan kebenaran sempurna-Nya. Maka Descartes menyimpulkan:
"Maka kita harus mengakui bahwa benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin mereka tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting ... haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai objek luar."
Kita harus ingat bahwa perhatian Descartes terhadap dunia luar sangatlah terbatas, dan tidak berlaku untuk semua yang biasanya dianggap termasuk di dalam kata "dunia". Sebab Allah hanya akan bersalah karena menipu bila terjadi bahwa keyakinan-keyakinan saya sungguh-sunguh sesat. Maka hanya sifat-sifat yang dengan jelas dan disting terdapat di dalam benda-bendalah yang dianggap pasti sebagai yang real secara objektif. Apa itu? Jawabnya ialah sifat-sifat yang "dipahami di dalam objek dari matematika murni", yaitu keluasan dan gerakan.
Sekarang menjadi jelas bagi Descartes bahwa esensi dari budi adalah pikiran dan esensi dari materia adalah keluasan. Setiap hal yang tidak real sebagaimana materia di dalam gerakan adalah real, atau hanya dapat menjadi real, bila mempunyai sifat sebagaimana kesadaran adalah real. Dampak dari pandangan seperti ini besar dan bercabang-cabang. Dikotomi Descartes menegaskan pandangan mekanis mengenai semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains. Tetapi dengan memperlakukan manusia sebagai suatu "hantu yang merasuki sebuah mesin", ajaran Descartes menimbulkan masalah budi-materia yang sangat rumit.

2.5 KRITIK BAGI DESCARTES: MIMPI DAN KENYANTAAN
Pertanyaan pokok adalah titik tolak Descartes: apakah dia telah melukiskan kesadaran manusia dengan benar? Apakah hal pertama yang tidak dapat diragukan bagi kesadaran manusia adalah pengalaman mengenai dirinya sendiri sebagai ego individual dan terisolasi?
Sedikit perhatian bisa diberikan kepada Bahasa khusus yang digunakan Descartes untuk mendasari keraguannya mengenai objektivitas dunia luar, pada khususnya mengenai "keraguan impian"nya. Descartes benar-benar bertanya "bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu melakukan apa yang biasanya saya anggap sebagai mimpi'?'

Kalau hal ini benar-benar dimaksudkannya secara harfiah, pertanyaannya mendekati sesuatu yang tidak masuk akal. Kita tahu bahwa kita mimpi dengan memperbandingkannya dengan keadaan kita sadari dengan penuh. Kita hanya tahu bahwa hal itu mimpi dengan memperbandingkannya dengan dunia yang konsisten, teratur, koheren di mana kita sungguh-sungguh sadar akan diri kita dan akan kenyataan. Sama sekali tidak masuk akal untuk bertanya: bagaimana saya tahu bahwa keadaan terjaga tidak sama dengan apa yang biasanya saya maksudkan dengan mimpi? Sebab bila halnya demikian, saya tidak akan tahu apa yang saya maksud dengan mimpi. Sama sekali tidak ada nilai praktisnya untuk mempertanyakan apakah keadaan terjaga sama dengan mimpi. Kalau saya bisa mengadakan penyelidikan kritis mengenai pengalaman saya di dalam mimpi, hal itu bukan mimpi lagi.

ANALISIS DAN KRITIK PEMIKIRAN
Rene Descartes adalah filsof yang penuh keraguan terhadap sesuatu, ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan manusia. Namun pada dasarnya tidak semua kebenaran suatu pengetahuan itu tidak perlu di ragukan lagi, ada kebenaran pengetahun yang masih terlalu besar unsur subjektivitasnya sehingga perlu ada keraguan di dalamnya, akan tetapi perlu dingat juga bahwa dari manakah atau menggunakan ciri khas apa supaya kita dapat membedakan kebenaran pengetahuan yang “palsu” dan tidak ?
Apakah dengan menggunakan keraguan mimpi oleh Rene Descartes yang mengatakan bahwa “ketika saya bermimpi saya sepertinya menemukan diri di antara objek-objek yang nyata, lepas dari saya dan diluar kontrol saya, namun kenyataannya mereka tidaklah nyata dan tidak lepas dari saya”. Namun kalau dengan pernyataan ini dikaitkan dengan cugito ergo sum maka akan dikatakan bahwa mimpi itu benar adalah kenyataan apabila kita selalu memikirkannya, karena dengan mimpi bisa buat manusia tersenyum dan tertawa bahkan bisa menangis. Akan tetapi apakah mimpi itu nyata ? hal ini yang perlu diragukan karena mimpi terjadi ketika manusia dalam keadaan tidur/tidak sadar, ini menandakan bahwa mimpi itu terjadi diluar kesadaran manusia, akan tetapi alam bawah sadar yang terdapat pada manusia juga membawa kebenaran yang hakiki.
Pemikiran Descartes mengatakan bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaran pertama (cugito) ia akan mampu untuk menemukan di dalamnya jaminan bagi kebenaran, yang dapat digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Dari pemikiran ini muncul pertanyaan bahwa apabila yang direfleksikan itu adalah kebenaran “palsu” apakah kita dapat menemukan jaminan kebenaran dan apakah kita jadikan patokan bagi kebenaran-kebenaran berikutnya ? hal ini yang perlu digaris bawahi, bahwa menurut saya pada dasarnya suatu kebenaran sebelum direfleksikan perlu adanya pencarian proses pembenaraan suatu masalah dan kemudian direfleksikan sesuai dengan jenjang permasalahan agar dapat diketahui berapa besar nilai kebenaran akan pengetahuan tersebut.
Pemikiran Descartes tentang keraguan kritis ini, ada yang tidak sesuai dengan pemikiran saya yaitu :
1. Apakah dengan keraguan akan sesuatu kebenaran kita dapat mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, bagi saya tidak semua kebenaran pengetahuan itu perlu diragukan lagi.
2. Pernyataan Descartes tentang mimpi bahwa mimpi itu hanyalah sebuah ilusi yang tidak nyata, namun menurut saya masalah mimpi kalau itu nyata atau tidak tergantung pada bagaimana cara kita memikirkannya, jikalau kita mengatakan bahwa dalam mimpi saya adalah nyata terjadi berarti bahwa nilai pembenaran yang menurutnya adalah benar, tetapi belum tentu menurut orang lain itu adalah kenyataan. Dengan demikian pandapat yang pertama adalah unsur subjektivitas dalam penafsiran sedangkan yang kedua adalah penilaian menurut subjektivitasnya dia juga. Olehnya masalah subjektivitas tidak akan bisa lepas dari pikiran manusia.
3. Menurut saya Descartes hanya melihat persoalan dari sisi pengamatan inderawinya saja sehingga hal-hal yang lain kadang diabaikan sebagaimana dipahami bahwa Rene Descartes hanya menekankan pada apa yang aku lihat, aku lihat. Hal ini pada dasarnya tidak semuanya mengandung nilai pembenaran apabila adanya pembuktian secara mendalam dan refleksi yang mendalam agar kita mendapatkan nilai pembenaran dari suatu pengetahuan tidak cukup dengan keraguan saja.

TIDORE MAJANG (FILSAFAT TEKNOLOGI)

ABSTRAKSI
ANALISIS KRITIS PEMIKIRAN K. BERTENS TENTANG METAFISIKA HEIDEGER
Abdurrahman Kader*

Heideger adalah seorang tokoh fenomenologi filsafat Teknologi. Hal yang melatar belakangi sehingga penulis mengangkat pemikiran Heideger dalam penulisan paper ini karena ada beberapa hal yaitu : Apakah pernyataan “Teknik menamatkan metafisika” adalah pemikiran dari Heidegger ataukah analisis dari K. Bertens dan apakah betul pemikiran tersebut
Permasalahan di atas dapat menghasilkan batasan pemikiran bahwa pengkajian tentang teknologi meneurut Heidegger bahwa teknologi berasal dari kata Techne yang mempunyai arti bukan hanya kativitas dan keahlilan menukang dengan tangan, tetapi juga seni pikiran dan seni halus. Techne dihubungkan dengan epistem dalam Yunani Kuno maka kedua kata tersebut Techne melibatkan pengetahuan praktis sedangkan episteme melibatkan pengetahuan teoritis yang eksak/pasti.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa asumsi K. Bertens tentang “Teknik dan Metafisika pada dasarnya sama dan dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa teknik menamatkan metafisika”, pada dasarnya terdapat kekeliruan dalam analisisnya karena teknik merupakan salah satu objek kajian metafisika namun bukan berarti dengan mengkaji teknik maka metafisika akan berakhir.
Kemudian asumsi yang kedua bahwa dalam pemikiran Heidegger penulis tidak pernah mendapatkan pemikiran Heidegger tentang esensi teknik yang dipelajari dan penjelasan tentang metafisika teknologi Heidegger juga tidak ada yang disinggung tentang Teknik menamatkan metafisika sebagaimana yang diasumsikan oleh K. Bertens.


PENDAHULUAN


Sosoknya tidak begitu mengesankan. Wajahnya juga pasaran, tidak mirip seorang cendekiawan. Ia lebih mirip petani yang sering memakai topi pet. “Perawakan professor pendek dan ramping”, demikian tulis Stefan Schimanski, “rambutnya hitam tebal dengan lintasan-lintasan putih. Ketika muncul dari pondoknya, ia naik ke puncak bukit, lalu menyalami saya. Ia berpakaian ala petani, pakaian yang sering ia kenakan ketika menjabat sebagai rektor di Freiburg. Sepatu botnya besar, dan itu semakin menandakan keterikatannya dengan tanah.“
Sosok bersahaja ini adalah salah satu filsuf terbesar di dalam sejarah filsafat Barat. Namanya adalah Martin Heidegger. Dari foto-fotonya, orang bisa melihat bahwa ia memiliki mata yang tajam. Foto-foto itu juga memiliki keunikan tersendiri. Ia sering difoto dari belakang, sehingga yang tampak hanya punggungnya saja. Pose ini seringkali mengundang beragam tafsiran tentang karakter Heidegger. Bukan hanya riwayat hidupnya yang multi tafsir, pemikiran dan filsafatnya pun penuh dengan lika liku yang mengundang beragam tafsiran kontroversial.
Heidegger merupakan sosok filsof barat yang mempunyai andil besar dalam memperbaharui konsep metafisika Barat.Ia merupakan tipe sosok pemikir yang memiliki daya perenungan dan reflksi yang dalam. Metafisika Barat-modern yang eksis begitu lama telah ia selami begitu detailnya sehingga ia mampu menangkap sisi kelemahan dari konsep metafisika Barat tersebut.
Dasar filsafat Heidegger adalah fenomenologi. Filsafat ini ia geluti semenjak ia belajar di Universitas Freiburg, tempat dia mempelajari teologi dan filsafat skolastik. Fenomenologi sendiri pada awalnya sudah menyembul dalam pemikiran Franz Brentano. Hembusan pemikiran inilah yang kemudian dikembangkan secara fantastis dan dramatis oleh Edmund Huserl (1859-1938). Dalam ranah filsafat, fenomenologi ini merupakan sistem filsafat yang bertolak belakang dengan pakem filsafat sebelumnya. Fenomenologi memaklumatkan sebuah slogan “kembali pada kenyataan itu sendiri”. Dengan kata lain tunda dulu semua keputusanmu tentang kenyataan. Biarlah kenyataan atau istilah filsofisnya :fenomen, mewujudkan kebenarannya sendiri.
Karya monumental karangan Heidegger yakni Being and Time berisi pemikiran tentang ada atau dasein dan ontologi maknanya yang bersifat temporalitas. Sesuatu yang dinamakan dasein adalah berada-dalam-dunia, dimana memiliki eksistensi yang tampak disaksikan oleh mata telanjang.
Konsep mengenai ada atau dasein adalah yang tampak tidak tersembunyi. Heidegger yakin bahwa tidak tersembunyi adalah interpretasi dalam kebenaran. Teknologi adalah hasil penerjemahan akal budi di tingkat praksis sehingga wujudnya merupakan objek, ciptaan, makhluk yang dibangun melalui kreatifitas daya kognitif manusia.
Metafisika dalam teknologi berhubungan dengan wujud yang disebabkan oleh sebab lain. Metafisika bekerja dalam ada dalam adaan. Pengungkapan yang tersembunyi sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia demi kenyamanan dan efektifitas kegiatannya.
Pemikiran Heidegger yang sangat menarik tentang teknologi dan metafisika ini sehingga K. Bertens dalam bukunya Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman menganaslisa pemikiran Heidegger tentang teknik dan metafisika sehingga K. Bertens mengambil suatu kesimpulan bahwa “Teknik dan Metafisika pada dasarnya sama dan dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa teknik menamatkan metafisika”.


ANALISIS KRITIS PEMIKIRAN K. BERTENS TENTANG METAFISIKA HEIDEGGER

A.Pengertian Metafisika
Metafisika secara etimologi metafisika berasal dari bahasa Yunani yaitu ta meta ra physika artinya “sesudah atau dibelakang realitas fisik”. Namun secara terminologi dikemukakan oleh para filosof yaitu :
1). Aristoteles mengatakan bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji yang –ada sebagai yang –ada.
2). Anton Bakker bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum
3). Van Peursen, Metafisika adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala yang –ada. (Joko Siswanto, 2004 : 7)
Dalam filsafat, metafisika juga populer disebut dengan ontologi. Kajian ontologi atau metafisika ini merupakan ranah yang untuk membincang dan menguak sang Ada.Orientasi ontologis-metafisis adalah mencoba untuk membongkar dan menangkap ada yang sebenarnya. Apa hakekat ada sebenarnya? Itulah pertanyaan pokok metafisika. Ontologi adalah ilmu tentang Ada (Being), yang menjadi sumber eksistensi segala sesuatu di dunia fenomenal yang diistilahkan dengan Mengada atau adaan (beings).
Istilah metafisika berasl dari bahasa Yunani dikemukakan oleh Aristoteles yaitu meta ta physike yang berarti hal-hal yang berada di balik (sesudah) fisika. Istilah tersebut dapat didefenisikan sebagai ilmu yang menelaah tentang segala sesuatu sampai tingkat yang terdalam dari suatu kenyataan (hakekatnya). (Kaelan, 2005 : 35)
Dari pengertian metafisika di atas menurut penulis bahwa segala seuatu yang objek kajiannya diluar batas pikiran normal manusia dan selalu mengkaji realitas dibelakang realitas sebenarnya maka dinamakan metafisika

B.Metafisika Teknologi Heidegger
Dalam filsafat, metafisika juga populer disebut dengan ontologi. Kajian ontologi atau metafisika ini merupakan ranah yang untuk membincang dan menguak sang Ada.Orientasi ontologis-metafisis adalah mencoba untuk membongkar dan menangkap ada yang sebenarnya. Apa hakekat ada sebenarnya? Itulah pertanyaan pokok metafisika. Ontologi adalah ilmu tentang Ada (Being), yang menjadi sumber eksistensi segala sesuatu di dunia fenomenal yang diistilahkan dengan Mengada atau adaan (beings).
Bagi Heidegger Ada adalah sesuatu yang universal yang mengatasi seluruh partikularitas. Ia adalah sesuatu yang mencakup dan melampoi seluruh adaan. Katakanlah bahwa rumah, manusia, hewan, meja, kursi dan sebagainya semuanya adalah “adaan”. Namun “Ada” sendiri bukanlah rumah, meja, kursi, manusia dan sejenisnya itu . Ia (Ada) meliputi semua “adaan”. Bagi Heidegger “Ada” pada hakekatnya adalah lebih fundamental dan lebih prinsipil dari adaan-adaan tersebut. Maka, dalam dunia filsafat, pertanyaan lebih efektifnya diarahkan pada sang Ada itu.
Heidegger telah menabuh genderang perang terhadap rasio atau pemikiran yang terlanjur diabsolutkan tersebut. Dengan tegas ia menyatakan bahwa yang namanya rasio atau logos itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari waktu (zeit) atau dimensi kemewaktuan (zeitlechkeit). Rasio atau logika adalah fakta yang berada dalam kungkungan ruang dan waktu, ia adalah barang yang menyejarah. Maka dari itu, sangat tidak mungkin apabila rasio atau pikiran terlepas dari dimensi kesejarahannya.
Bagi Heidegger ada dalam Dasein adalah ada dalam dunia yang merupakan satu kesatuan. Artinya, realitas Dasein dan dunia sendiri tidak dipahami sebagai dua entitas yang terpisah dan berdiri secara bergadap-hadapan. Ada daalam Dasein sudah pasti ada dalam dunia, namun Dasein sendiri bukanlah benda-benda material yang ada di dunia seperti pohon, binatang, rumah dan sejenisnya.
Dasein berbeda dengan benda-benda metarial itu, ia terus bergelut terllibat dan melibatkan diri, terpengaruh dan mempebgaruhi dengan alam di sekitarnya. Dasein. Keberadaan Dasein sendiri bukanlah seperti keberadaan air dalam ember yang bersifat empiris-obyektif. Keberadaan Dasein lebih bersifat faktisitas yaitu keberadaan dalam dunia sedemikian rupa ketika dasein memahami dirinya sebagai terkait dengan benda-benda lain. Dalam istilahnya Heidegger, Dasein hidup di dunia tidak diam begitu saja, tetapi ia justru mendunia. Dengan demikian meskipun ia secara ontologis-eksistensial berbeda dengan benda-benda partikular dunia, Dasein tetap sebuah realitas yang menyejarah. Konsep semacam ini merupakan kritik yang tajam terhadap metafisika Barat sebelumnya yang cenderung memisahkan diri dalam kategori subjek-objek. Dengan konsep Dasein yang eksistensinya menyejarah, meruang dan mewaktu namun ia sendiri bukan benda-benda yang ada dalam ruang dan waktu itu, berarti konsep oposisi biner seperti sobyek-obyek, superior-inferior, obyektif-subyektif dan sejenisnya menjadi runtuh.
Hakekat teknologi memang merupakan hubungan ready to hand yang melihat dunia sebagai in order to. Melalui ready to hand, lingkungan tampak sebagai ‘dunia’, karena pengalaman praksis menjelajahi dunia melalui ready to hand. Heidegger berargumen bahwa model hubungan teoritis, presence at hand, tidak dapat menjelajahi dunia. Seseorang tidak dapat membuat hubungan praksis hanya dengan memberi predikat atau sifat kepada sebuah obyek. Entitas bukanlah merupakan suatu hal yang hanya unutk diberi nilai-nilai, baik nilai-nilai kegunaan atau kemanfaatan melalui konsep kognitif, melainkan untuk dimanfaatkan secara praksis. Dengan menyatakan ini, Heidegger tidaklah menganggap bahwa hubungan presence at hand tidak ada, namun hubungan ini sangat tergantung pada ready to hand.
Heidegger membedakan teknologi dengan esensi teknologi. Meskipun hadir dalam waktu yang bersamaan namun tetap berbeda dalam tataran ontologis. Teknologi sebagai alat merupakan wujud luar yang ditangkap oleh mata, berwujud konkrit, sementara sebagai aktifitas manusia merupakan wujud tersembunyi namun dapat terungkap secara nyata berkat kecerdasan manusia. Esensi teknologi menumbuhkan konsep dasar bagi teknologi sebagai persembahan tingkat kreatifitas, kemajuan di dalam upaya memperluas daya dorong aktualisasi diri manusia.
Heidegger menyatakan bahwa teknologi bukan sekedar alat, namun sebuah jalan atau cara untuk membuka pikiran (reveal). Wujud yang dahulu tidak ada atau tidak terlihat sekarang berkat teknologi menampakan bagian yang tersembunyi, berkat hasil karya manusia di bidang teknologi.
Bentuk otonomi teknologi menunjukan bahwa kepentingan manusia di batasi oleh jiwa teknologi yang di pengaruhi oleh kepentingan teknologi sendiri. Jarak pengaruh teknologi terhadap diri manusia begitu nyata, kuat sehingga otonomi teknologi berhadapan dengan kepentingan manusia. Sampai titik tertentu manusia mengabdi pada teknologi sehingga melahirkan ”manusia teknologi”dimana seluruh struktur yang berada dalam diri manusia sepenuhnya bergantung pada pola hidup teknologi. Seperti realitas maya internet membentuk dunia baru, pergaulan manusia dibatasi serta jaringan kerja luas, kebebasan informasi begitu mudah diakses dan batas-batas budaya, informasi, realitas sudah tidak terbatas sampai keseluruh penjuru dunia. Disisi lain penggunaan hand-phone sebagai alat komunikasi seringkali dipakai untuk berbicara, mengambil gambar visual, mendengarkan musik, merekam pembicaraan dapat mengubah jadwal dan kegiatan keseharian yang dahulu tertib dengan pola pikir mandiri, namun kini kontrol diri tak dapat dibatasi oleh pilihan sendiri namun sepenuhnya berdasar dari otonomi teknologi yang meng-intervensi pola pikir manusia. Keberhasilan teknologi dalam mempengaruhi manusia tak lepas dari cara pandang serta penilaian terhadap teknologi.
Pandangan Heidegger tentang alat yaitu Alat-alat itu menghadirkan dunianya sendiri yang saya tidak tahu. Namun saya bisa menguasainya jika saya masuk ke dalam dunia itu. Pemahaman mengenai alat-alat dan dunia yang dihadirkan olehnya merupakan pemahaman esensial akan ada.
Menurut Mardimin hakekat teknologi adalah tangan untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki ilmu, hal ini harus disadari oleh manusia. Teknologi dihasilkan dari dari penerapan ilmu yang sudah mengalami penelitian dan pengembangan lebih lanjut hingga manfaatnya menjadi jelas bagi kehidupan manusia.(Heru Santoso, 2007 : 98)
Dengan demikian dalam metafisika Heidegger membicarakan tentang ada dan adanya teknologi bagi kehidupan manusia, olehnya sering orang mengira bahwa Heidegger adalah orang yang tidak suka akan teknologi namun pada dasarnya Ia merupakan aliran fenomoenologis sehingga beliau melihat sisi penampakan dari teknologi itu sehingga seorang Heidegger kedudukannya dalam teknologi adalah diantaranya.

C.Analisis Kritis Pemikiran K. Bertens Tentang Metafisika Heidegger
Penjelasan-penjelasan di atas maka disini penulis dapat menjelaskan bagaimana pemikiran K. Bertens yang menjelaskan buah pikiran metafisika Heidegger tentang teknik dan metafisika dalam bukunya berjudul Filsafat Barat Kontemporer Inggris –Jerman yang mengatakan bahwa “Teknik dan Metafisika pada dasarnya sama dan dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa teknik menamatkan metafisika”.
Analisis K. Bertens tentang masalah di atas karena dalam periode metafisika yang ditandai oleh lupa akan ada, sehingga seorang Heidegger berbicara tentang Teknik sehingga pemikiran Heidegger menjelaskan tentang hubungan erat antara teknik dengan metafisika, dari pendapat ini sehingga K. Bertens berasumsi bahwa pada saat tertentu Teknik menamatkan metafisika.
Pada analisa K. Bertens tentang masalah tersebut menurut pemikiran penulis sepertinya terdapat kekeliruan karena metafisika merupakan ilmu yang sangat luas wilayah kajiannya, kajian yang paling utama adalah tentang ada dan ke-adaan suatu benda atau mahluk, dengan demikian hubungan apa antara teknik dengan perkembangan metafisika sehingga K. Bertens mengasumsikan bahwa teknik menamatkan metafisika.
Namun dipihak lain penulis sepertinya mendukung asumsi dasar tersebut karena berbicara tentang ada akan sesuatu maka lebih cenderung ke persoalan keilmuan atau pengetahuan sedangkan teknik atau teknologi merupakan buah tangan atau hasil keterampilan manusia, dengan demikian maka terjadinya perpaduan antara pengetahuan (pemikiran manusia) dengan teknik/teknologi (keterampilan) maka melahirkan kesempurnaan.
Sebagaimana Heidegger (Francis Lim, 2007 : 61) mengklaim bahwa terdapat sejenis pengetahuan praksis yang sungguh berbeda dari pada pengetahuan teoritis. Pengetahuan praksis berdasrkan kegunaan entitas, namun pengetahuan teoritis didasarkan pada predikat ciri-ciri yang diberikan kepada entitas. Praksis merujuk pada kegunaan yang menyatakan diri, sementara observasi teoritis adalah mengamati dan meletakan sifat-sifat tertentu.
Namun pada dasarnya bahwa apa yang diasumsikan oleh K. Bertens tersebut merupakan keliru karena dalam metafisika Heidegger hanya membicarakan tentang pengertian akan ada dan adanya seuatu. Dan pengkajian tentang teknologi meneurut Heidegger bahwa teknologi berasal dari kata Techne yang mempunyai arti bukan hanya kativitas dan keahlilan menukang dengan tangan, tetapi juga seni pikiran dan seni halus. Techne dihubungkan dengan epistem dalam Yunani Kuno maka kedua kata tersebut Techne melibatkan pengetahuan praktis sedangkan episteme melibatkan pengetahuan teoritis yang eksak/pasti.
Heidegger juga menerangkan dua jalan manusia berhubungan dengan dunia, yaitu presence at hand dan ready to hand. Presence at hand melihat dunia sebagai yang ‘sudah begitu adanya’. Dunia merupakan suatu entitas dengan segala atribut dan predikat yang dimilikinya. Dunia adalah ‘theoretically determined’, suatu entitas teoritis. Pada kelanjutannya, presence at hand menghadirkan pengetahuan teoritis tentang dunia.


KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa asumsi K. Bertens tentang “Teknik dan Metafisika pada dasarnya sama dan dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa teknik menamatkan metafisika”, pada dasarnya terdapat kekeliruan dalam analisisnya karena teknik merupakan salah satu objek kajian metafisika namun bukan berarti dengan mengkaji teknik maka metafisika akan berakhir.
Kemudian asumsi yang kedua bahwa dalam pemikiran Heidegger penulis tidak pernah mendapatkan pemikiran Heidegger tentang esensi teknik yang dipelajari dan penjelasan tentang metafisika teknologi Heidegger juga tidak ada yang disinggung tentang Teknik menamatkan metafisika sebagaimana yang diasumsikan oleh K. Bertens.

DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2003. Martin Heidegger, Teraju
K. Bertens. 2002. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Lim, Francis. 2007. Filsafat Teknologi, Don Ihde Tentang Dunia, Manusia dan Alat: Kanisius. Yogyakarta.
M.S. Kaelan. Dr. 2005. Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat: Paradigma. Yogyakarta
Siswanto, Joko. 2004. Metafisika Sistematik: Taman Pustaka Kristen. Yogyakarta
Santoso, Heru. Ir. 2007. Etika dan Teknologi:Tiara Wacana. Yogyakarta

ABSTRAK
STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
“Paradigma Perkembangan Ilmu Pengetahuan”
Abdurrahman Kader

Perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian pesat dengan aliran yang beragam membuat penulis merasa perlu untuk melakukan suatu karya tentang bagaimana perkembangan ilmu itu dengan permasalahan yang diangkat yaitu persoalan hakekat suatu ilmu pengetahuan, perkembangan sutu teori yang khususnya adalah teori paradigma yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn dan bagaimana perkembangan serta sumbangsi bagi perkembangan keilmuan dewasa ini.
Permasalah yang telah diangkap sehingga penulis mempunyai batasan pemikiran bahwa suatu hakekat ilmu adalah bagaimana pengetahuan itu didapatkan yang kemudian dikembangkan melalui riset atau aktivitas ilmiah sehingga menghasilkan suatu teori atau karya. Setelah menghasilkan teori maka disinilah paradigma akan berlaku karena asumsi utama dari paradigma adalah bagaimana cara pandang seseorang terhadap fenomena yang muncul dalam suatu masayarakat atau objek tertentu.
Selanjutnya dapat diuraikan bahwa perkembangan suatu ilmu pengetahuan juga tergantung pada sikap seorang ilmuwan. Untuk menjadi seorang ilmuan tentunya harus konsekuaen dengan falsafah hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral dan mampu membawa masyarakat menuju progesivitas yang tinggi, maka ilmuan harus menjadi suri tauladan dalam segala tindak tanduknya di tengah-tengah masyarakat


BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang kian cepat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang mendesak manusia mengikuti pola dan iramanya. zaman yang serba canggih ini mebuat manusia khususnya para ilmuwan melupan hakekat suatu ilmu pengetahuan, lebih-lebih melupakan dan meremehkan filsafat dan sejarah perkembangan suatu ilmu pengetahuan itu.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang di awali dari Zaman Yunani dan Romawi Kuno sampai pada masa Perkembangan ilmu pengetahuan Alexandria telah ditutup oleh bangkitnya Kristianitas pada Jaman Kegelapan. Selama berabad-abad, perkembangan ilmu pengetahuan dilumpuhkan oleh kediktatoran spiritual dari Gereja. Hanya dengan membebaskan dirinya dari pengaruh agama, ilmu pengetahuan mampu berkembang. Namun, melalui puntiran sejarah yang aneh, pada akhir abad ke-20 berbagai upaya yang bertenaga telah dibuat untuk menarik mundur ilmu pengetahuan. Segala macam kuasi-religius dan ide-ide mistis bertebaran di udara. Gejala aneh ini berkaitan dengan dua hal.
Pertama, pembagian kerja telah dilakukan pada tingkat yang demikian ekstrim sehingga ia mulai melahirkan berbagai bahaya. Spesialisasi yang sempit, reduksionisme dan perceraian yang hampir sempurna antara sisi teori dengan eksperimen pada fisika telah membawa akibat-akibat yang paling negatif.
Kedua, tidak ada satu filsafat yang cukup kuat untuk membantu menunjukkan jalan yang tepat bagi ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan sudah berantakan. Ini tidak mengherankan karena apa yang kini disebut "filsafat ilmu" - atau mungkin lebih tepat disebut sekte filsafat positivisme logis yang menganugerahi dirinya sendiri dengan gelar itu - justru adalah yang paling tidak sanggup membantu ilmu pengetahuan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan ini.
Beberapa dasawarsa terakhir telah tertanam dalam-dalam sebuah prasangka bahwa ilmu "murni", khususnya fisika teoritik adalah hasil dari pemikiran abstrak dan deduksi matematik semata. Seperti yang dijelaskan Eric Lerner, Einstein turut pula bertanggung jawab untuk kecenderungan ini. Tidak seperti teori-teori sebelumnya, seperti hukum elektromagnetik Maxwell, atau hukum gravitasi Newton, yang memiliki dasar yang kokoh dalam percobaan-percobaan, dan segera dibenarkan oleh ribuan pengamatan terpisah, teori Einstein mulanya hanya dibenarkan berdasarkan dua hal saja - pembelokan cahaya oleh medan gravitasi matahari dan penyimpangan kecil dari orbit Merkurius. Fakta bahwa teori relativitas kemudian dibuktikan tepat telah mendorong orang lain, yang mungkin tidak setingkat dengan kejeniusan Einstein, untuk menganggap bahwa inilah cara untuk melangkah maju. Mengapa perlu repot-repot dengan percobaan yang makan waktu? Sungguh, mengapa perlu bergantung pada bukti fisik yang dapat diraba, kalau kita dapat langsung menuju kebenaran melalui metode deduksi murni?
Lahirnya sebuah teori merupakan hasil pencarian cerapan indra menjadi suatu pengetahuan yang kemudian dibuktikan dengan suatu aktivitas ilmiah dengan cara melakukan studi penelitian dengan menggunakan berbagai metode keilmuan. Pengembangan suatu teori inilah yang kemudian melahirkan suatu cara pandang terhadap suatu dinamika alam maupun perubahan dalam suatu masyarakat tertentu yang merupakan hasil cerapan indera.
Landasan teori inilah yang berkembang sehingga lahirlah suatu pandangan bari yang dikenal dengan teori paradigma yang dipelopori oleh Thomas Khun, Ia berasumsi bahwa suatu krisis ilmu bisa bila lahir paradigma yang baru sepenuhnya dan menarik makin banyak kepercayaan para ilmuwan sampai akhirnya paradigma orisinil sebagai suatu problem dapat dipecahkan. Perubahan terus menerus dan terputus-putus itu merupakan revolusi ilmiah, paradigma baru yang penuh dengan janji untuk membimbing aktivitas ilmiah.
Pertanyaan yang muncul apakah paradigma dapat menjawab semua aktivitas ilmiah, pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, sebab paradigma merupakan suatu cara pandang, sedangkan cara pandang tergantung pada subjek yang menggunakan inderanya.

Landasan pemikiran di atas sehingga penulis sepertinya tertarik pada suatu paradigma ilmu menurut Thomas Kuhn sebagai suatu perkembangan keilmuan dewasa ini, sehingga penulis mengangkat tema sebagai dasar penulisan makalah ini.

b. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka diajukan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1.Apa hakekat ilmu pengetahuan ?
2.Apa teori Paradigma dan bagaimana perkembangannya ?
3.Bagaimana Strategi pengembangan dan paradigma ilmu pengetahuan ?

c.Manfaat Penulisan
Diharapkan dalam penelitian bermanfaat bagi :
1.Kemajuan pemikiran filsafat
2.Kemajuan pengembangan Ilmu Pengetahuan

d.Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:
1.Untuk mengetahui hakekat dari ilmu pengetahuan
2.Untuk mendeskripsikan teori paradigma dan perkembangannya
3.Untuk menguraikan strategi pengembangan dan paradigma ilmu pengetahuan


BAB II
HAKEKAT ILMU PENGETAHUAN

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau berdasarkan fakta-fakta melalui penelitian secara empiric. Menurut A.F. Chalmers bahwa ilmu didasarkan pada apa yang dapat kita lihat, dengar, raba dan sebagainya. Pendapat atau kesukaan subjektif dan dugaan-dugaan spekulatif perorangan tidak mempunyai tempat di dalam ilmu2. Disisi lain menurut J.J. Davies bahwa ilmu adalah suatu struktur yang dibangun atas fakta-fakta3.
Ilmu ada karna adanya pembuktian, ilmu ada karna apa yang kita lihat kemudian di buktikan secara empiris maka melahirkan ilmu. Fakta empirik menurut A.F. Chalmers (1983 : 5) adalah fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan panca inderanya. Ruang lingkup kemampuan penca indra dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pencaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empirik.
Sejak awal sejarah ternyata manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas). Dalam kehidupan sehari-hari Ilmu pengetahuan, yang kadang disebut sains, merupakan komponen terbesar yang diberikan sebagai mata pelajaran dalam semua tingkatan pendidikan di samping humaniora dan agama.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan yaitu gabungan antara berpikir secara rasional dan empiris4 Hal senada diungkapkan oleh Adisusilo menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan atau science adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Karena itu, ilmu pengetahuan harus mempunyai sifat ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara metodis, sistematis, dan logis. Metodis maksudnya adalah bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara kerja yang terperinci, baik yang bersifat induktif maupun deduktif, sesuai dengan tahapan-tahapan metode ilmu, misalnya dimulai dengan observasi, perumusan masalah, mengumpulkan dan mengklasifikasi fakta, membuat generalisasi, merumuskan hipotesis, dan membuat verifikasi5.
Sementara itu, The Liang Gie (1984) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsepsi ilmu yang sistematik dan lengkap hendaknya mencakup segi-segi denotasi (cakupan), konotasi (ciri penentu), dan dimensi (keluasan). Ketiga segi tersebut perlu dibedakan secara tegas dan tidak dicampuradukkan dalam pembahasan tentang ilmu.
Menurut Suriasumantri ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ketahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi). Dalam hal ini, falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi atau keberadaan ilmu6.
Ontologi membahas tentang apa yang kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian, bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai obyek tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita berpaling kepada epistemologi, yakni teori pengetahuan7. Menurut Pranarka orang perlu mencari dan mempertanyakan dasar-dasar dari ilmu itu, terutama menunjukkan legitimasi epistemologinya8. Selanjutnya, jawaban untuk pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan pengetahuan, berkaitan dengan axiologi yakni teori tentang nilai. Setiap bentuk buah pemikiran
4Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik, 1984b
5 Ibid
6 Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu 1984a.
7 Ibid
8. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar, 1987
7
manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan.
Secara lebih rinci, Suriasumantri menyatakan bahwa tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan axiologi9.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
9 Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, 1984c.
8
BAB III
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
A.
Teori Pengetahuan dan Kebenaran
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir“. Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan ” barangkali ” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya10. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah di atas perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak,yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan)11.
10 (Dikutip dari http://suaraqolbu.wordpress.com/2008/01/05/teori-pengetahuan/ dowload tanggal 31 Desember 2008.
11 Ibid
9
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dengan “Falsafatuna”-nya, Jawad Amuli dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya dan Ja’far Subhani dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya12. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka13 sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat14 mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Renaissance15 yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia. Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya16.
a.
Sumber-Sumber Pengetahuan
1.
Empiri (pengalaman): David Hume—outer senses dan inner sense.
Panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, “perasa” merupakan outer senses).
12 (Dikutip dari http://suaraqolbu.wordpress.com/2008/01/05/teori-pengetahuan/).download 31 Desember 2008)
13 Kata mereka adalah sebutan bagi bangsa Barat
14 Sebutan bagi bangsa Eropa
15 Lahir kembali dalam bentuk yang baru bagi bangsa Eropa
16 Ibid
10
2. Rasio (Reason): akal budi, pikiran, penalaran: deduktif dan induktif sabagai dasar manusia mengambil kesimpulan dalam berpikir.
3. Otoritas: kewenangan, kompetensi.
Orang dipercaya omongannya (dipandang sebagai kebenaran) karena dianggap memiliki otoritas. Otoritas diperoleh lewat: pendidikan, keturunan.
4. Intuisi
semacam a flash of insight, seolah a priori (mendahului X a posteriori: didahului, sesudah) terhadap pengalaman. Tanpa melihat, sebelum mendengar seolah telah begitu jelas dan terang-benderang di dalam pikiran kita. Ilmuwan yang berpikir intens (mendalam dan terus-menerus) dapat memiliki intuisi.
5. Kepercayaan: belief.
Credo ut intelligam: aku percaya maka aku mengerti. Di dalam pengetahuan memang ada unsur kepercayaan.
6. “Wahyu”: Revelation.
Berupa semacam “wangsit”, didapatkan lewat mimpi. Seolah ada bisikan gaib yg memberikan pengetahuan yang benar17.
b.
Kebenaran
Kebenaran adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi kesalahannya, banyak teori dan persepsi tentang kebenaran. Namun sering orang bertanya apakah kebenaran itu benar ? ukuran kebenaran sangatlah sulit diartikan karena masing-masing manusia mempunyai ukurannya tersendiri.
Menurut Riri Satria, ada 2 jenis kebenaran, yaitu (1) kebenaran hakiki (the real truth), serta (2) kebenaran yang dipersepsikan (perception of truth). Kebenaran hakiki sejatinya milik Yang Maha Kuasa Sang Pengatur Alam Semesta, dan sulit untuk dicapai oleh manusia seobyektif mungkin. Saya meyakini sepenuhnya bahwa kebenaran hakiki ini ada, somewhere up there18. Sementara itu kebenaran yang dipersepsikan inilah yang ada pada umat manusia. Kebenaran yang dipersepsikan ini berwujud suatu konsensus atau kesepakatan atau kesetujuan terhadap sebuah
17 (Dikutip dari : Slide Power Poin Cuk Ananta Wijaya, matrikulasi S2 Filsafat Tahun 2008)
18 (dikutip dari http://www.ririsatria.net/2008/09/02/kebenaran/ )download 30 Desember 2008
11
fenomena, di mana bisa saja sesuai dengan kebenaran hakiki, bisa juga tidak. Tetapi selagi disepakati oleh sekelompok manusia, maka itu diyakini sebagai kebenaran oleh kelompok tersebut, tentu saja kebenaran yang dipersepsikan. Kebenaran yang dipersepsikan ini bisa saja terkoreksi suatu saat, sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi kebenaran hakiki akan kekal abadi selamanya.
Lebih jelasnyaakan diuraikan tentang bagaimana kedudukan dan teori kebenaran itu, sebagaimana diuraikan di bawah ini :
1.
Kedudukan Kebenaran
-
Plato mementingkan objek daripada subjek: alètheia tersingkapnya selubung yang menutupi ada.
-
Aristoteles mementingkan subjek pengenal daripada objek: persesuaian antara pernyataan subjek dengan objek.
-
Kebenaran tersingkap dalam relasi subjek dengan objek yang selalu berkembang19.
2.
Kriteria Objek Kebenaran
-
Konsep tidak dapat dinilai benar-salah, betul-keliru, namun dapat dinilai jelas-kabur, memadai-tidak memadai.
-
Persepsi tidak dapat dinilai benar-salah, betul-keliru, yang bisa dinilai adalah isi pernyataan tentang apa yang dipersepsikan.
-
Yang bisa betul-keliru adalah orang yang mempersepsikannya.
-
Persepsi bisa jeli atau serampangan, tajam atau tumpul, menyeluruh atau parsial.
-
Pengetahuan dapat dinilai benar-salah krn ia merupakan suatu sistem pernyataan20.
3.
Istilah-Istilah terkait Kebenaran
-
“Benar-salah” atau true-false dipakai utk menilai isi atau kualitas suatu proposisi.
-
“Betul-keliru” atau truth-error dipakai untuk menilai person atas proposisinya. Misal: orang bisa keliru atas keyakinan geosentrisme. Pengetahuan tidak tepat untuk dinilai dengan betul-keliru.
19 (Dikutip dari : Slide Power Poin Cuk Ananta Wijaya, matrikulasi S2 Filsafat Tahun 2008)
20 Ibid
12
-
“Tepat-meleset” atau correct-incorrect dipakai untuk menilai jawaban atas suatu pertanyaan atau persoalan, penilaian, pertimbangan, atau putusan.
-
“Sahih-tak sahih” atau valid-invalid untuk menilai lurus-tidaknya prosedur, metode pengetahuan21.
4.
Macam-macam Kebenaran
1.
Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan.
2.
Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif.
3.
Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akal-budi, karena yang-ada mengungkapkan diri kepada akal-budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal-budi yg menyatakannya22.
B.
Teori Paradigma dan Perkembanganya
Istilah yang sangat populer kini untuk menyebut “kerangka teori" adalah paradigma. Istilah ini menjadi populer setelah Thomas Kuhn menggunakannya dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1945). Kuhn mengata bahwa revolusi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah pergantian paradigma atau pergantian pola pikir, cara memandang, Cara mendefinisikan suatu gejala atau suatu persoalan. Revolusi dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah penggantian paradigma lama oleh suatu paradigma baru yang dipandang dapat menjelaskan lebih banyak gejala atau dapat memberikan jawaban yang lebih tepat atau lebih menguntungkan atas pertanyaan yang dikemukakan. (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2007 : 6).
Sedangkan pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
21 ibid
22 ibid
13
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan menentukan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset23.
Kemudian Thomas Kuhn (Achmad Fedyani S, 2006 : 53-54) menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Paradigma merupakan suatu keputusan yudikatif dalam hukum yang tidak tertulis.
Secara singkat pengertian pradigma adalah Keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Thomas Khun mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Pendapat ini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian-kajian kritis terhadapnya. Kritis tentang pendapat tersebut yaitu a). Menguji kebenaran dan manfaat pendapat Khun pada bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu saja; b).
23 (dikutip dari :http://loekisno. wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/) download tanggal 30 Desember 2008
menilai secara kritis pendapat Khun tentang paradigma, karena Khun menggunakan istilah paradigma yang berbeda-beda sehingga dikatakan bahwa Ia tidak konsisten dalam pendapatnya. (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2008 : 3-4).
Penjelasan tersebut di atas sehingga dalam sebuah paradigma mengandung unsur-unsur pokok yang medasarinya, sebagaimana dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra24 yaitu Aumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, model, masalah-masalah yang ingin diselesaikan/dijawab, konsep-konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis dan etnografi atau representasi.
Lebih rinci lagi kan digambarkan dalam bentuk skema dibawah ini25 :
24 Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi budaya yang disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2008
25 Ibid 14
15
BAB IV
STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PARADIGMA
ILMU PENGETAHUAN
A.
Strategi pengembangan Ilmu
Berbicara tentang strategi pengembangan ilmu ini Koento Wibisono (1982:13) mengelompokkan menjadi 3 macam pendapat: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan tetutup, dalam arti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan. “Science for sake of science only” merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberi justifikasi. Dengan ini ilmu cendrung memasuki kawasan untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi. Ketiga, pendapat ynag menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansidan aktualitasnya. “Science for sake of human progress” adalah pendiriannya.
Ketiga pendapat ini rupanya pendapat yang ketiga yang mampu membangkitkan gairah keilmuan, karena strategi yang digunakan punya relevansi untuk memperkaya muatan-muatan keilmuana sesuai dengan progresivitas dan aktualitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dari sini tak dapat diletakkan urgensi untuk mengembangkan ilmu yang tidak sekedar teori-teori belaka, tapi juga realisasi teori dalam praktek dan hasil-hasil yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Artinya di sini bahwa ada nilai-nilai yang menjadi muatan suatu ilmu bisa berkembang dan bermanfaat.
Masa kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa yang ditandai dengan masa pencerahan yang memberi porsi yang sangat besar bagi kebebasan individu. Hal ini terbukti dari kuasa akal (reason) yang begitu besar pada abad 18 sebagai Abad Pencerahan. Cassirer menyatakan: “ketika abad 18 ingin disebut dalam sebuah kata, ia disebut sebagai “reason“. “Reason“ menjadi perekat dan titik sentral pada abad ini,
16
mengekspresikan perjalanan dan perjuangan, serta segala perolehan”26. Di samping itu, bukti lain yang menguatkan ialah pendapat Horkheimer dan Adorno bahwa untuk bidang ilmu, Pencerahan mengacu pada sebuah masa eksperimentasi dan penemuan melalui pencarian rasional secara bebas27.
Pada Abad Pencerahan, banyak filsuf berupaya menerapkan metode ilmu alam pada wilayah moral. Paling jelas nampak pada ambisi David Hume akan sebuah science of man. Kodrat manusia bersifat konstan dan seragam dalam prinsip-prinsip operasional, yaitu motivasi yang mendorong atau hasrat; sumber pengetahuan berupa pengalaman; dan mode operasi berupa asosiasi ide. Hal tersebut dapat dipahami secara ilmiah bahwa institusi sosial dapat didesain untuk memeroleh hasil yang memuaskan28.
Setiap aksi pastilah menimbulkan reaksi. Tidak sedikit para pemikir yang menolak proyek Pencerahan. Horkheimer dan Adorno menengarai bahwa pencarian sistematik dari akal budi dan kebebasan yang tercerahkan mempunyai pengaruh ironis jangka panjang dalam melahirkan bentuk rasionalitas dan penindasan baru. Selain itu, Pencerahan juga mengancam ide tentang hak asasi manusia seperti pada “universal-universal lama”, misalnya mitos. Setiap perlawanan yang Pencerahan temukan semata-mata berperan untuk meningkatkan kekuatan serta mengakui eksistensi mitos yang erat dengan dirinya, misalnya Pencerahan selalu membawa kebebasan berpikir bagi setiap orang atau ilmu dapat meningkatkan kebebasan individu.
Penolakan terhadap Pencerahan yang terkait dengan relasi antara ilmu dengan kebebasan individu nampak jelas pada apa yang disebut Ian Shapiro sebagai Politik Anti Pencerahan. Shapiro mengatakan, “para pengecam Pencerahan tidak percaya bahwa kemajuan yang berdasarkan ilmu pengetahuan akan menghasilkan perbaikan hidup manusia dan kebebasan individu”. Pada bagian selanjutnya, Shapiro mengkritisi bahwa “…kebanyakan versi serangan anti-Pencerahan terhadap ilmu pengetahuan
26 Ernst Cassirer, The Philosophy of Enlightenment (translated by Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove, 1951), hal. 5
27 Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan (terjemahan Ahmad Sahidah, 2002), hal. 5.
28 Christopher J. Berry, “Human Nature, Science of, In The 18th Century”, Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy,2000), halaman 364.
17
jauh lebih masuk akal sebagai kritik terhadap Pencerahan awal dibandingkan terhadap Pencerahan akhir.
Sebagaimana lazimnya, ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Meskipun yang disebut pengetahuan ilmiah sesuai dengan keharusan adanya keraguan didalamnya kemudian dipertanyakan kembali. Demikian pula sikap masyarakat atas pengetahuan itu, untuk menerima atau menolaknya. Sekiranya hasil ilmu itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat.
Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena ia adalah warga mayarakat yangkepentingannya terlibat sefcara langsung di masyarakat, namun lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuan secara tidak pernah mandeg pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfatkan olah masyarakat29.
Pada masyarakat yang agak statis, nilai tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi. Disini tugas dan tanggung jawab sosial keilmuan harus mampu mengisi dan mewarnai kondisi masyarakat tersebut tanpa harus merubah esensi budayanya. Artinya semata-mata demi untuk kemajuan masyarakat tersebut, sehingga fungsi ilmu itu dapat diterima dan dilaksankan oleh semua anggota masyarakat sedemikian rupa sehingga tercerahkan dan akhirnya tersadarkan. Hal ini akan membentuk idelisme progresif pada pola pikir masyarakat.
Untuk menjembatani hal ini, perlunya sikap sosial seorang ilmuan, yakni konsistensi dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan mampu menyampaikan dengan bahasa yang dimengerti masyarakat dan mampu memberikan perspektif secara benar suatu masalah30.
Demikian juga seorang ilmuan tentunya harus konsekuaen dengan falsafah hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral dan mampu membawa
29 Jujun S. Sumiasumantri, Ilmu dalam Prespektif, 1990 : 237
30 Ibid, hal. 239
18
masyarakat menuju progesivitas yang tinggi, maka ilmuan harus menjadi suri tauladan dalam segala tindak tanduknya di tengah-tengah masyarakat.
B.
Pengembangan Paradigma Ilmu Thomas Khun
Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fondamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik. Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta Phsikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya, yang dalam perkembangan ilmu tersebut adalah secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik.
Kuhn memberikan image atau konsep sains alternatif dalam outline yang ia gambarkan dalam beberapa stage, yaitu :
1. Pra paradigma-Pra ilmu
Pada stage ini terdapat persetujuan yang kecil bahkan tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena), maka aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir. Sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan diantara mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu, misalnya tentang sifat cahaya. Teori Epicurus, teori Aristoteles, atau teori Plato, satu kelompok menganggap cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda-benda yang berwujud; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda itu dan mata; yang lain lagi menerangkan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata; di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri.
19
Walaupun aktifitas ilmiah masing-masing aliran tersebut dilakukan secara terpisah, tidak terorganisir sesuai dengan pandangan yang dianut halini tetap memberikan sumbangan yang penting kepada jumlah konsep, gejala, teknik yang dari padanya suatu paradigma tunggal akan diterima oleh semua aliran-aliran ilmuan tersebut, dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat menerima (mengatasi) ketergantungan observasi pada teori.
2. Paradigma normal science
Para stage ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Dan hal inilah merupakan ciri yang membedakan antara normal science dan pra science. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut memungkiri adanya definisi yang ketat, meskipun demkian, didalam paradigma tersebut tercakup :
a.
komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis.
b.
cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berbagai tipe situasi.
c.
instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri.
d.
prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma.
keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science31.
31 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
20
Dalam stage ini terdapat tiga fokus yang normal bagi penelitian science faktual, yaitu
a)
Menentukan fakta yang penting.
b)
Menyesuaikan fakta dengan teori.
c)
Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja32.
Barangkali ciri yang paling menonjol dari masalah riset yang normal dalam stage ini adalah betapa sedikitnya masalah-masalah itu ditujukan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang besar, yang konseptual atau yang hebat tetapi; normal science sasarannya adalah memecahkan teka-teki dan masalah-masalah science. Teka-teki tersebut harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagai kelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma.
3. Krisis Revolusi
Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, dan anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang sebagai hal serius yang dapat menggoyahkan paradigma jika anomali tersebut :
a)
Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
b)
Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak33.
32 Ibid
33 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
21
Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada stage ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Mereka membela penemuan baru dengan argumen-argumen filosofis dari posisi dubuis dipandang dari sudut paradigma. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja. Sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Setiap krisis selalu diawali dengan penngkaburan paradigma serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang lebih jauh atau telah diakui dengan tegas.
Setiap paradigma yang bersaing akan memandang dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigma tersebut akan melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia. Paradigma Aristotelian melihat alam semesta ini terbagi menjadi dua dunia dunia yang berlainan, dunia super-lunar (yang abadi dan tidak berubah-ubah) dan dunia sub-lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma yang muncul berikutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-bahan material yang sama. Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan.
Tidak adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa :
a)
Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan seorang ilmuan mengenai faedah suatu teori ilmiah.
b)
Penyusun paradigma-paradigma yang bersaing menganut berbagai perangkat standar, prinsip metafisik dan lain sebagainya yang berlainan34.
Keputusan seorang ilmuan individual akan tergantung pada prioritas yang ia berikan pada beberapa faktor, faktor tersebut antara lain :
- Kesederhanaan
34 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
22
- Kebutuhan sosial yang mendesak
- Kemampuan memecahkan problem khusus
- Kerapihan dan kecocokan dengan permasalahan yang dihadapi35.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.
Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan.
Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya walaupun berhasil mengatasi permasalahan itu revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa.
Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut36.
35 Ibid
36 Dikutip dari :http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ download tanggal 30 Desember 2008
23
Paradigma pengembangan keilmuan yang dikemukan Thomas Khun tersebut banyak mengandung tantangan namun pada dasarnya Newton-Smith (1981)37 paling tidak mencakup pertama, generalisasi simbol milik bersama (shared symbolic generalizations), kedua, model-model (models) ketiga, nilai-nilai (values), keempat, prinsip-prinsip metafisis (metaphisical principles), kelima, masalah-masalah kongkrit.
Demikian sehingga dalam mengambangkan suatu ilmu pengetahuan merupakan sebuah pergantian paradigma yang mendasarinya. Namun patut di ingat bahwa dalam filsafat dijelaskan bahwa dalam mencapai suatu tingkat kebenaran adalah dengan menempuh cara-cara atau prosedur yang telah digariskan, serta suatu pengetahuan atau ilmu yang didapat merupakan peranan dari sumber-sumber pengetahuan yaitu Empiri, Rasio, Otoritas, Intuisi, Kepercayaan, dan Wahyu.
37 Heddy Shri Ahimsa Putra, 2008 : 4‐5 Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi budaya yang disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
24
BAB V
KESIMPULAN
Sejak awal sejarah ternyata manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Demikian sehingga adanya tiga macam pendapat tentang perkembangan ilmu yaitu : pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan tetutup, dalam arti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan. “Science for sake of science only” merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberi justifikasi. Dengan ini ilmu cendrung memasuki kawasan untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi. Ketiga, pendapat ynag menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansidan aktualitasnya. “Science for sake of human progress” adalah pendiriannya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka perkembangan cara pandang terhadap sesuatu atau yang disebut dengan paradigma. Paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskantentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Masalah perkembangan ilmu dan persoalan paradigma maka, Thomas Khun mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Pendapat ini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian-kajian kritis terhadapnya. Kritis tentang pendapat tersebut yaitu a). Menguji kebenaran dan manfaat pendapat Khun pada bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu saja; b). menilai secara kritis pendapat Khun tentang paradigma, karena Khun menggunakan istilah paradigma yang berbeda-beda sehingga dikatakan bahwa Ia tidak konsisten dalam pendapatnya
DAFTAR PUSTAKA
Christopher J. Berry, 2000. Human Nature, Science of, In The 18th Century, Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy; London: Routledge.
Ernst Cassirer, 1951. The Philosophy of Enlightenment (translated by Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove, New Jersey: Princeton University Press,
Gie, The Liang. 1984. Konsepsi tentang Ilmu. Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi. Yogyakarta.
Koento Wibisono. 1982. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme;
Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, 2002. Dialektika Pencerahan (terjemahan Ahmad Sahidah, Yogyakarta: Ircisod,
Pranarka, AMW. 1987. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar. Yayasan Proklamasi. Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S. 1984a. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Yayasan obor Indonesia dan Leknas – LIPI. Jakarta.
1984b. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. PT Gramedia. Jakarta.
1984c. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Sinar Harapan. Jakarta.
1990. Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6,.


Sumber Lain :
Cuk Ananta Wijaya, 2008 Slide Power Poin Epistemologi, matrikulasi S2 Filsafat Tahun 2008.
Riri Satria dalam http://www.ririsatria.net/2008/09/02/kebenaran/ Kebenaran (Download tanggal 30 Desember 2008)
http://suaraqolbu.wordpress.com/2008/01/05/teori-pengetahuan/ Teori Pengetahuan (Download tanggal 31 Desember 2008)
http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/). Paradigma Shift Thomas Kuhn (Download tanggal 30 Desember 2008)


1 Mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat UGM