DESA KECIL PENUH KENANGAN JAUH DARI KEBLINGER KOTA NAMUN TETAP JAYA . . . .

Kamis, 15 Januari 2009

KERAGUAN KRITIS: DESCARTES
Abdurrahman Kader*

2.1 PARADOKS KELIRU
Tidak semua pengetahuan kita mempunyai dasar yang sama. Maka, upaya kritis di dalam epistemologi untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan harian kita dapat diperlakukan sebagai suatu usaha untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun, kesulitannya ialah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri khan dari pengetahuan yang kokoh yang mombedakannya dari "pengetahuan" yang palsu?
Salah satu usaha paling radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini telah dibuat oleh Rene Descartes. Descartes menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat seberapa jauh hal itu bisa diragukan. Bila kita secara sisetematis mencoba meragukan sebanyak mungkin pengetahuan kita, akhirnya kita akan mencapai titik yang tidak bisa diragukan, sehingga pengetahuan kita dapat dibangun di atas dasar kepastian absolut.
Prosedur yang disarankan oleh Descartes disebut "keraguan metodis universal". Keraguan ini bersifat universal karena direntang tanpa batas, atau sampai keraguan ini membatasi diri. Artinya, usaha meragukan tersebut akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha meragukan ini disebut metodik, karena keraguan yang diterapkan di sini merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis untuk mencapai kebenaran.
Bagi Descartes persoalan dasar bagi filsafat pengetahuan bukannya bagaimana kita dapat tahu, tetapi mengapa kita dapat membuat kekeliruan. Kekeliruan merupakan momok yang menakutkan bagi pikiran. Descartes tidak mempermasalahkan bahwa budi dapat mencapai kebenaran. Dia begitu yakin mengenai hal itu, sehingga kekeliruan baginya merupakan suatu kekecualian. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada kegagalan untuk melihat sesuatu, tetapi kekeliruan terjadi di dalam mengira tahu sesuatu yang tidak diketahuinya, atau mengira tidak tahu sesuatu yang diketahuinya.

2.2 KEPASTIAN PERTAMA: "COGITO ERGO SUM"
Descartes mengakui bahwa tampaknya tidak masuk akal untuk meragukan banyak hal, "misalnya, de facto saya ada di sini, duduk dekat api, mengenakan baju panjang, memegang kertas ini di tangan dan beberapa hal yang serupa". Tetapi ia melanjutkan:
"Pada waktu yang sama saya harus ingat bahwa saya adalah seorang manusia, dan bahwa dengan itu saya mempunyai kebiasaan tidur, dan di dalam mimpi tampak bagi saya hal-hal yang sama atau kadang-kadang bahkan hal-hal yang lebih meyakinkan, dari pada mereka yang kurang waras di dalam saat-saat mereka terjaga. Berapa kali telah terjadi pada diri saya bahwa di malam saya bermimpi saya menemukan diri di tempat khusus ini, bahwa saya berpakaian seperti ini dan duduk dekat api, sedangkan di dalam kenyataannya saya tidur di bed! Pada saat ini memang tampaknya saya terjaga sewaktu memandangi kertas ini; bahwa kepala yang saya gerakkan ini tidak tertidur, bahwa dengan sengaja saya merentangkan tangan dan memperhatikannya; apa yang terjadi di dalam tidur kelihatan tidak sejelas dan serinci ini. Tetapi di dalam memikirkan kembali hal ini mengingatkan diri saya bahwa pada banyak kesempatan saya telah tertipu di dalam tidur oleh ilusi-ilusi yang serupa, dan di dalam merenung dengan teliti ini saya melihat dengan begitu jelas bahwa tidak ada petunjuk-petunjuk pasti yang memungkinkan kita membedakan dengan jelas antara keadaan terjaga dan keadaan tidur sehingga saya terseret di dalam kekaguman."
Ini adalah 'keraguan mimpi'-nya Descartes yang sangat terkenal itu. Intinya mudah ditangkap. Ketika saya bermimpi saya sepertinya menemukan diri di antara objek-objek yang nyata, lepas dari saya, dan di luar kontrol saya. Namun kenyataannya mereka tidaklah nyata dan tidak lepas dari saya. Bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu bermimpi? Bagaimana saya tahu bahwa dunia yang saya lihat berada di luar saya, de facto bukan merupakan bagian dari imajinasi saya?
Sebagaimana badan saya yang tampaknya begitu jelas, demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi juga begitu jelas. Padahal kenyataannya, badan saya di dalam mimpi hanyalah khayalan saya. Jangan jangan semua hal yang sampai saat ini saya yakini begitu jelas berada di luar imaginasi saya, kenyataannya hanyalah hasil ulah pikiran saya sendiri, seperti yang terjadi dalam mimpi ! Kalau halnya demikian suatu nada sendu terdengar sayup-sayup di sini. Sebab bersamaan dengan itu, yang runtuh di dalam hancurnya duniaku ke dalam mimpi bukan hanya menara-menara yang tertutup awan dan istana-istana megah, tetapi juga sesamaku: sahabat, orang-orang tercinta, orang-orang yang menyebabkan hidupku terasa begitu bahagia. Kalau kesadaran baruku ini benar, terbukti bahwa semuanya yang semula saya kira berbeda dari saya tidak lain hanyalah bayang-bayang yang saya temui di dalam mimpi, yang tidak berbeda dari saya dan proyeksi diriku sendiri.
Namun budi masih menuntut haknya. Budi tidak menyerah begitu saja. Meskipun seandainya saya bermimpi, masih terdapat kebenaran-kebenaran yang tidak hancur di dalam mala petaka itu, yaitu kebenaran-kebenaran yang masih bisa saya tegaskan tanpa syarat. "Dua kali dua adalah empat", adalah kebenaran yang terjadi baik di dalam keadaan terjaga saya maupun di dalam mimpi saya; segi empat mempunyai empat sisi baik di dalam dunia mimpi maupun di dalam dunia sadar. Apakah ada cara di mana keraguan metodis dapat menghancurkan pertahanan dari kebenaran-kebenaran yang kokoh itu?
"Sebagaimana saya sering membayangkan bahwa banyak orang menipu diri sendiri di dalam hal-hal yang mereka pikir mereka ketahui benar-benar, bagaimana saya tahu bahwa saya tidak menipu diri setiap saat saya menambahkan dua dan tiga, atau menghitung sisi dari sebuah segi empat, atau mempertimbangkan Benda-Benda yang masih lebih sederhana, jika sesuatu yang lebih sederhana masih bisa dipikirkan?"
Siapa bisa membuktikan bahwa tidak ada suatu kekuatan lebih tinggi, yaitu si genius yang jahat, yang selalu mempermainkan saya demi kepentingannya sendiri dan yang menyebabkan saya dipenuhi dengan semua bentuk keyakinan kosong? Mungkin saya satu-satunya pribadi di dalam kenyataan, sedangkan seluruh pengalaman saya hanyalah merupakan khayalan, suatu lapisan ilusi yang ditanamkan oleh suatu kekuatan yang dengan penuh kejahatan senang menipuku terus-terusan. Padahal tidak ada objek sama sekali di luar diri saya:
"Maka saya akan mengira ... suatu makhluk genius jahat yang begitu berkuasa dan jahat, telah menggunakan seluruh tenaganya untuk menipu saya ... Maka, saya menjadi yakin bahwa semua Benda yang saya lihat adalah salah; saya mulai yakin bahwa tak ada suatu pun yang pernah ada sama sekali sebagaimana ingatan saya yang salah telah menampilkannya kepada saya. Saya berpikir hahwa saya tidak mempunyai indera: saya bayangkan bahwa badan, bentuk, keluasan, gerakan dan tempat merupakan khayalan pikiran saya. Lalu, apa yang dapat dianggap sebagai benar? Mungkin tidak ada satu pun, kecuali bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti . . .
Lalu apa?Apakah ini sama dengan kelumpuhan total? Apakah masih ada sesuatu yang dapat meloloskan diri dari kehancuran total Meskipun kedengarannya aneh, namun masih ada:
"Bagaimana saya tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berbeda dari hal-hal yang telah saya pikirkan, yang mengenainya tak ada keraguan sedikit pun? ... Saya sendiri, bukankah sekurang-kurangnya merupakan sesuatu? Tetapi telah saya sangkal bahwa saya mempunyai indera dan badan. Tetapi saya ragu, apa yang menjadi akibatnya? Apakah saya begitu tergantung kepada badan dan indera sehingga saya tidak dapat ada tanpa hal-hal itu? Tetapi saya telah yakin bahwa tak ada sesuatu pun di seluruh dunia, tak ada surga, tak ada bumi, tak ada budi, dan tak ada badan: apakah saya juga yakin bahwa saya tidak ada? Sama sekali tidak; saya tentu saja ada sebab saya meyakinkan diri saya sendiri mengenai sesuatu ... Padahal ada seorang penipu atau yang lain, yang sangat kuasa dan sangat licik, yang selalu menggunakan kepintarannya untuk menipuku. Maka tanpa sangsi saya tetap ada bahkan seandainya dia meni'pu saya, dan biarkan dia menipuku semau-maunya, ia tidak dapat menyebabkanku menjadi tiada sejauh saya berpikir bahwa saya merupakan sesuatu. Maka setelah mere-fleksikan dan memeriksa segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan hati-hati, kita harus sampai kepada kesimpulan yang pasti bahwa pernyataan ini: Saya ada, saya bereksistensi, secara niscaya benar setiap kali saya menyatakannya, atau bila saya memikirkannya secara mental."
Maka hal ini merupakan karang di atas mana keraguan Descartes akhirnya diatasi: "Cogito, ergo sum", saya berpikir, maka saya ada. Tidak peduli betapa pun asam keraguan menggerogoti, keraguan ini tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya sendiri: yaitu eksistensi dari orang yang meragukan.
Beberapa catatan perlu diberikan bagi maksud Descartes. Pertama-tama, perlu dicatat bahwa isi dari cogito, yaitu apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah: cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir; yaitu eksistensi dari budi, sebuah substansi sadar. Namun hal ini tidak menjamin eksistensi dari badan. Secara singkat perlu dikatakan bahwa ketika Descartes berbicara mengenai "berpikir", ia tidak memaksudkan secara eksklusif pada penalaran saja; melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, yang dianggap sebagai kegiatan sadar, termasuk di dalam istilah "berpikir" ini. Meskipun mungkin status dari objek-objek mereka bisa diragukan, kegiatan-kegiatan sadar ini tidak diragukan.

2.3 SUBJEKTIVISME
Apa yang termaktub di dalam konsepsi Descartes mengenai kehidupan mental, sebagaimana diperkembangkannya di dalam pemikirannya yang matang, adalah bahwa data dari kesadaran adalah melulu keadaan subjektif. Ini termuat di dalam kemampuannya untuk mengkonsepsikan semua data pengalaman tanpa adanya referensi objektif dalam dirinya sendiri. Bahkan seandainya tidak ada apa pun yang ada kecuali diri saya sendiri, saya masih bisa mempunyai pengalaman yang persis sama seperti yang saya miliki sekarang. Maka kenyataan bahwa saya sekarang mempunyai pengalaman-pengalaman ini tidak membuktikan bahwa pengalaman-pengalaman itu benar-benar ada sebagai sesuatu yang berbeda dari kesadaran saya sendiri. Akhirnya, karna kesadaran sebagaimana dipahami oleh Descartes tidak mempunyai referensi objektif langsung kepada sesuatu pun yang berbeda dari diri saya sendiri, maka bila referensi seperti itu harus ditegaskan, pastilah merupakan hasil dari suatu penalaran tertentu.
Yang kita temukan di sini adalah persoalan subjektivisme. Persoalan ini sangat penting, sebab hal ini membawa kita kepada pertanyaan: jika semua dari kesadaran saya pada awalnya mempunyai nilai eksklusif dari suatu keadaan subjektif dari jiwa individual saya sendiri, bagaimana saya pernah take tentang kodrat sesuatu yang lain dari diri saya? Atau bahkan bagaimana saya bisa sampai pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang berbeda dari diri saya sendiri? Persoalan ini tidak dapat dianggap enteng, sebab dalam salah satu bentuknya sendiri, hal ini merupakan persoalan yang digulati oleh filsafat modern sejak Descartes. Tetapi masalahnya bukan saja khusus bagi Descartes, sebab caranya memandang kesadaran adalah suatu Cara yang merangsang setiap bndi manusia pada suatu tingkat tertentu refleksinya. Ini merupakan pandangan kaum 'idealis'.
Maka di sini perlu diperkenalkan perbedaan antara kaum realis epistemologis dan kaum idealis epistemologis. Di sini sengaja akan dirumuskan secara luas:
(a).Realisme epistemologis berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya dengan apa yang lain dari diri saya.
(b).Idealisme epistemologis berpendapat bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif murni.
Persoalan bagi idealis epistemologis atau subjektivis adalah bagaimana, berdasarkan konsepsinya tentang kesadaran, dia pernah menyadari sesuatu yang lain dari dirinya sendiri? Rupanya seorang idealis sungguh-sungguh akan menemukan kesulitan antuk menghindari kesimpulan solipsistik. Apa yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa mereka yang mulai dengan mengambil titik tolak subjektivis, akhirnya percaya bahwa mereka telah menemukan suatu bentuk kesadaran yang merupakan kekecualian dari status subjektif murni dan yang juga mempunyai referensi objektif. Bila mereka tidak melakukan hal itu, mereka akan terkurung di dalam keadaan jiwa individual mereka sendiri untuk selamanya.

2.4 JALAN KELUAR YANG DITEMPUH DESCARTES
Descartes berpendapat bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaran pertama (cogito) ia akan mampu untuk menemukan di dalamnya jaminan bagi kebenaran, yang dapat digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Mengapa dia tidak mungkin menyangkal eksistensinya sendiri? Sebab, katanya, ia menangkapnya dengan begitu jelas dan disting, sehingga keraguan menjadi tak berdaya.
Perlu ditekankan bahwa Descartes di sini hanya memusatkan perhatiannya kepada apa yang disebutnya "yang tunggal atau simple", yang sama dengan jelas dari dirinya sendiri, eviden, masuk akal. Apa yang selalu ditekankannya adalah sifat intuitif dari pengetahuan: apa yang aku lihat, aku lihat. Yang jelas dan disting adalah sesuatu yang bercahaya berkat sinarnya sendiri. Pendiriannya adalah ini: kenyataan yang begitu positif dan langsung selalu termuat di dalam ide yang jelas dan disting, sehingga isinya adalah real; perbedaan antara yang subjektif dan objektif ditekan, dan budi mencapai apa yang mempunyai nilai pengetahuan tak bersyarat.
Tinggal pertanyaan mengenai dunia luar. Bagaimana saya mengatasi keraguan mengenai eksistensi riil dari benda-benda material di luar saya dan lepas dari saya? Untuk melakukan hal ini Descartes menggunakan dua jalan. kodrat dari pengada sempurna dan kodrat dari pengalaman inderawi saya.
Selanjutnya, seandainya terjadi kekeliruan di dalam keyakinan saya, dan seandainya Allahlah yang menjadi penyebab ide khayalan yang terjadi di dalam diri saya, maka Ia akan menjadi pembuat ilusi universal dan tak terelakkan pada diri saya. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan kebenaran sempurna-Nya. Maka Descartes menyimpulkan:
"Maka kita harus mengakui bahwa benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin mereka tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting ... haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai objek luar."
Kita harus ingat bahwa perhatian Descartes terhadap dunia luar sangatlah terbatas, dan tidak berlaku untuk semua yang biasanya dianggap termasuk di dalam kata "dunia". Sebab Allah hanya akan bersalah karena menipu bila terjadi bahwa keyakinan-keyakinan saya sungguh-sunguh sesat. Maka hanya sifat-sifat yang dengan jelas dan disting terdapat di dalam benda-bendalah yang dianggap pasti sebagai yang real secara objektif. Apa itu? Jawabnya ialah sifat-sifat yang "dipahami di dalam objek dari matematika murni", yaitu keluasan dan gerakan.
Sekarang menjadi jelas bagi Descartes bahwa esensi dari budi adalah pikiran dan esensi dari materia adalah keluasan. Setiap hal yang tidak real sebagaimana materia di dalam gerakan adalah real, atau hanya dapat menjadi real, bila mempunyai sifat sebagaimana kesadaran adalah real. Dampak dari pandangan seperti ini besar dan bercabang-cabang. Dikotomi Descartes menegaskan pandangan mekanis mengenai semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains. Tetapi dengan memperlakukan manusia sebagai suatu "hantu yang merasuki sebuah mesin", ajaran Descartes menimbulkan masalah budi-materia yang sangat rumit.

2.5 KRITIK BAGI DESCARTES: MIMPI DAN KENYANTAAN
Pertanyaan pokok adalah titik tolak Descartes: apakah dia telah melukiskan kesadaran manusia dengan benar? Apakah hal pertama yang tidak dapat diragukan bagi kesadaran manusia adalah pengalaman mengenai dirinya sendiri sebagai ego individual dan terisolasi?
Sedikit perhatian bisa diberikan kepada Bahasa khusus yang digunakan Descartes untuk mendasari keraguannya mengenai objektivitas dunia luar, pada khususnya mengenai "keraguan impian"nya. Descartes benar-benar bertanya "bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu melakukan apa yang biasanya saya anggap sebagai mimpi'?'

Kalau hal ini benar-benar dimaksudkannya secara harfiah, pertanyaannya mendekati sesuatu yang tidak masuk akal. Kita tahu bahwa kita mimpi dengan memperbandingkannya dengan keadaan kita sadari dengan penuh. Kita hanya tahu bahwa hal itu mimpi dengan memperbandingkannya dengan dunia yang konsisten, teratur, koheren di mana kita sungguh-sungguh sadar akan diri kita dan akan kenyataan. Sama sekali tidak masuk akal untuk bertanya: bagaimana saya tahu bahwa keadaan terjaga tidak sama dengan apa yang biasanya saya maksudkan dengan mimpi? Sebab bila halnya demikian, saya tidak akan tahu apa yang saya maksud dengan mimpi. Sama sekali tidak ada nilai praktisnya untuk mempertanyakan apakah keadaan terjaga sama dengan mimpi. Kalau saya bisa mengadakan penyelidikan kritis mengenai pengalaman saya di dalam mimpi, hal itu bukan mimpi lagi.

ANALISIS DAN KRITIK PEMIKIRAN
Rene Descartes adalah filsof yang penuh keraguan terhadap sesuatu, ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan manusia. Namun pada dasarnya tidak semua kebenaran suatu pengetahuan itu tidak perlu di ragukan lagi, ada kebenaran pengetahun yang masih terlalu besar unsur subjektivitasnya sehingga perlu ada keraguan di dalamnya, akan tetapi perlu dingat juga bahwa dari manakah atau menggunakan ciri khas apa supaya kita dapat membedakan kebenaran pengetahuan yang “palsu” dan tidak ?
Apakah dengan menggunakan keraguan mimpi oleh Rene Descartes yang mengatakan bahwa “ketika saya bermimpi saya sepertinya menemukan diri di antara objek-objek yang nyata, lepas dari saya dan diluar kontrol saya, namun kenyataannya mereka tidaklah nyata dan tidak lepas dari saya”. Namun kalau dengan pernyataan ini dikaitkan dengan cugito ergo sum maka akan dikatakan bahwa mimpi itu benar adalah kenyataan apabila kita selalu memikirkannya, karena dengan mimpi bisa buat manusia tersenyum dan tertawa bahkan bisa menangis. Akan tetapi apakah mimpi itu nyata ? hal ini yang perlu diragukan karena mimpi terjadi ketika manusia dalam keadaan tidur/tidak sadar, ini menandakan bahwa mimpi itu terjadi diluar kesadaran manusia, akan tetapi alam bawah sadar yang terdapat pada manusia juga membawa kebenaran yang hakiki.
Pemikiran Descartes mengatakan bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaran pertama (cugito) ia akan mampu untuk menemukan di dalamnya jaminan bagi kebenaran, yang dapat digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Dari pemikiran ini muncul pertanyaan bahwa apabila yang direfleksikan itu adalah kebenaran “palsu” apakah kita dapat menemukan jaminan kebenaran dan apakah kita jadikan patokan bagi kebenaran-kebenaran berikutnya ? hal ini yang perlu digaris bawahi, bahwa menurut saya pada dasarnya suatu kebenaran sebelum direfleksikan perlu adanya pencarian proses pembenaraan suatu masalah dan kemudian direfleksikan sesuai dengan jenjang permasalahan agar dapat diketahui berapa besar nilai kebenaran akan pengetahuan tersebut.
Pemikiran Descartes tentang keraguan kritis ini, ada yang tidak sesuai dengan pemikiran saya yaitu :
1. Apakah dengan keraguan akan sesuatu kebenaran kita dapat mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, bagi saya tidak semua kebenaran pengetahuan itu perlu diragukan lagi.
2. Pernyataan Descartes tentang mimpi bahwa mimpi itu hanyalah sebuah ilusi yang tidak nyata, namun menurut saya masalah mimpi kalau itu nyata atau tidak tergantung pada bagaimana cara kita memikirkannya, jikalau kita mengatakan bahwa dalam mimpi saya adalah nyata terjadi berarti bahwa nilai pembenaran yang menurutnya adalah benar, tetapi belum tentu menurut orang lain itu adalah kenyataan. Dengan demikian pandapat yang pertama adalah unsur subjektivitas dalam penafsiran sedangkan yang kedua adalah penilaian menurut subjektivitasnya dia juga. Olehnya masalah subjektivitas tidak akan bisa lepas dari pikiran manusia.
3. Menurut saya Descartes hanya melihat persoalan dari sisi pengamatan inderawinya saja sehingga hal-hal yang lain kadang diabaikan sebagaimana dipahami bahwa Rene Descartes hanya menekankan pada apa yang aku lihat, aku lihat. Hal ini pada dasarnya tidak semuanya mengandung nilai pembenaran apabila adanya pembuktian secara mendalam dan refleksi yang mendalam agar kita mendapatkan nilai pembenaran dari suatu pengetahuan tidak cukup dengan keraguan saja.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda